Kementerian Keuangan melaporkan bahwa posisi surat utang negara/surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan oleh Pemerintah sampai dengan tanggal 17 April 2025 adalah sebesar 8.019 triliun rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 289 triliun rupiah dibandingkan dengan Desember 2024. Dimana pada saat itu, posisi surat utang negara adalah sebesar 7.730 triliun rupiah (Kemenkeu, 2025).
Harus diakui bahwa dalam dua dekade terakhir, proporsi surat utang negara mendominasi proporsi utang Pemerintah. Bahkan, pada tahun 2023, proporsi surat utang negara mencapai lebih dari 88% dari keseluruhan utang Pemerintah (DPR RI, 2025). Adapun perkembangan utang Pemerintah dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:
Posisi Utang Pemerintah 2010 - 2023
Sumber: DPR RI, 2025
Sebagaimana diketahui bahwa konsekuensi logis dari peningkatan jumlah utang sebagaimana tersebut di atas adalah peningakatan bunga yang harus dibayar oleh Pemerintah. Hal ini tercermin dari kinerja APBN yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan. Dimana Kementerian Keuangan mencatat bahwa terdapat peningkatan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara sebagai berikut:
Rasio Pembayaran Bunga Terhadap Penerimaan Negara
Sumber: DPR RI, 2025
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa meskipun rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara sempat mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2021, namun secara umum terjadi peningkatan pembayaran bunga. Bahkan pada tahun 2020 terjadi peningkatan signifikan pada pembayaran bunga utang Pemerintah (DPR RI, 2025). Melalui artikel ini, kita akan membahas mengenai aspek pajak atas pembayaran bunga surat utang negara.
Dasar hukum pengenaan pajak atas bunga dapat kita jumpai Pada Undang – Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang – Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan antara lain mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk bunga, premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Selanjutnya, Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang – Undang Pajak Penghasilan juga mengatur bahwa penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
Ketentuan ini selanjutnya diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 91 tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap.
Melalui ketentuan ini, Pemerintah mengatur bahwa Atas penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dikenai pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%. Padahal dalam ketentuan sebelumnya, Pemerintah mengatur bahwa tarif PPh final bunga obligasi adalah sebesar 15% untuk wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap serta sebesar 20% untuk Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
No | Taxpayer Category | PP 16/2009 | PP 91/2021 |
1. | Residents and PEs | 15% | 10% |
2. | Non-Residents (non-PEs)* | 20% | 20% |
*The default rate under Article 26 is 20% unless reduced by a tax treaty.
Terdapat tiga Dasar Pengenaan Pajak yang dipergunakan dalam menghitung besarnya PPh terutang. Pertama, Dasar Pengenaan Pajak bunga dari Obligasi dengan kupon dihitung sebesar jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi. Kedua, Dasar Pengenaan Pajak diskonto dari Obligasi dengan kupon dihitung sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan. Ketiga, Dasar Pengenaan Pajak diskonto dari Obligasi tanpa bunga dihitung sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.
Namun demikian, ketentuan ini juga mengatur bahwa pajak penghasilan final atas bunga obligasi tidak dikenakan apabila penerima penghasilan merupakan wajib pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Terkait dengan mekanisme pemotongan pajak penghasilan, ketentuan ini mengatur bahwa terdapat tiga pihak yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan atas bunga obligasi. Pertama, penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk. Kedua, perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, atau reksa dana selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto. Ketiga, kustodian atau subregistry selaku pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak kepemilikan, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi.
Tetapi, apabila Bunga Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah ditatausahakan melalui Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System, maka pajak penghasilan final disetor sendiri oleh wajib pajak penerima penghasilan.
Demikian pembahasan terkait pajak penghasilan atas bunga obligasi. Apabila Saudara membutuhkan asistensi lebih lanjut, idetax siap membantu.
Baca artikel lain: Pajak Atas Transaksi Di Bursa Saham
Ketentuan terkait:
- Undang – Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 91 tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap.
Referensi
- DPR RI. (2025). Kumpulan Analisis Siklus Pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2024 Mitra Komisi XI. Jakarta: DPR RI.
- Kemenkeu. (2025, Mei 05). Posisi Outstanding Surat Berharga Negara. Retrieved from Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko: https://www.djppr.kemenkeu.go.id/posisisbn