Ideatax

Desember 2024, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Secara umum, Surat Edaran ini berisi mengenai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, salah satunya adalah Pengadilan Pajak.


Peru diketahui bahwa sejak tahun 2012, Mahkamah Agung rutin mengadakan rapat pleno yang bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Melalui rapat pleno tersebut, Mahkamah Agung membahas mengenai permasalahan teknis yudisial dan nonteknis yudisial yang muncul pada masing – masing kamar hukum (chamber). Terdapat enam kamar (chamber) yang dbahas dalam setiap rapat pleno Mahakamah Agung: Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama, Kamar Militer, Kamar Tata Usaha Negara Dan Kamar Keseketariatan. Untuk selanjutnya, hasil dari rapat pleno tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang menjadi pedoman bagi masing – masing pengadilan.


Terkait dengan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2024, terdapat dua putusan pada Kamar Tata Usaha Negara yang berpengaruh terhadap proses Peradilan Pajak. Pertama, Mahkamah Agung memutuskan bahwa badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXII/2024, kecuali dalam hal:

  1. Ditemukan bukti baru (novum)
  2. Adanya dua ata lebih putusan yang berkekeuatan hukum tetap yang saing bertentangan.
  3. Mempertahankan kepentingan hak keperdataan badan atau pejabat tata usaha negara (asset negara atau daerah).


Kedua, melalui SEMA 2 tahun 2024, Mahkamah Agung juga mengatur bahwa bukti yang berada dalam penguasaan wajib pajak dan sudah diminta secara terperinci dan maksimal dalam jangka waktu yang layak oleh Direktorat Jenderal Pajak namun tidak diserahkan pada saat pemeriksaan pajak atau keberatan, tidak dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak dana tau Mahkamah Agung.


Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara


Pasal 77 ayat (3) Undang – Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur bahwa Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Hal ini berarti baik wajib pajak maupun DJP dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung apabila tidak puas dengan putusan banding Pengadilan Pajak. Namun, sejak SEMA 2 tahun 2024 terbit, DJP hanya dapat mengajukan peninjauan ke Mahkamah Agung apabila ditemukan bukti baru, adanya putusan inkrah yang bertentangan atau untuk mempertahankan kepentingan hak keperdataan badan atau pejabat.


Selanjutnya, perlu diketahui bahwa berdasarkan pasal 91 Undang – Undang nomor 14 tahun 2002 mengatur bahwa Peninjauan Kembali putusan banding oleh wajib pajak maupun DJP dapat dilakukan apabila memenuhi alasan sebagai berikut:

 

  • Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  • Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
  • Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;
  • Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- sebabnya; atau
  • Apabila terdapat suatu putusan yang nyata- nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.


Sampai pada titik ini kita paham bahwa kesempatan DJP untuk mengajukan Peninjauan Kembali menjadi lebih kecil. Oleh sebab itu, DJP harus melakukan formulasi ulang terhadap narasi yang dibangun pada saat proses keberatan dan banding. Di sisi lain, kesempatan ini tidak boleh disia – siakan oleh wajib pajak. Dimana wajib pajak dapat mengatur strateginya supaya menang dalam proses banding dan menutup kesempatan DJP untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.


Penyampaian Bukti yang tidak diserahkan pada saat pemeriksaan/keberatan


Terkait dengan penyampaian alat bukti yang sebelumnya telah diminta dalam proses pemeriksaan atau keberatan namun namun belum tersampaikan dalam proses sebelumnya da baru disampaikan pada proses banding, Undang – Undang nomor 14 tahun 2002 tidak mengaturya dengan jelas. Pasal 69 ayat (1) Undang – Undang nomor 14 tahun 2002 mengatur bahwa terdapat lima alat bukti yang digunaka dalam proses banding: surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim. Selanjutnya, pasal 70 Undang – Undang tersebut juga mengatur bahwa surat sebagai alat bukti terdiri dari akta autentik, akta di bawah tangan, surat keputusan atau ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang serta surat – surat lain yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.


Undang – Undang 14 tidak mengatur secara jelas apakah surat yang telah diminta pada proses pemeriksaan dan keberatan namun belum tersampaikan dan baru dapat disampaikan di pross banding dapat digunakan sebagai alat bukti. Sehingga, wajib pajak berasumsi atas data tersebut dapat dapat diajukan sebagai alat bukti di proses banding.


Namun, sejak SEMA 2 tahun 2024, Mahkamah Agung secara jelas menegaskan bahwa data yang sebeumnya telah diminta secara layak dalam proses pemeriksaan dan keberatan namun tidak diberikan oleh wajib pajak, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Tapi perl diingat bahwa apabila pemeriksa atau penelaah keberatan tidak meminta data tersebut dalam proses pemeriksaan atau keberatan, wajib pajak tetap dapat mengajukan data tersebut sebagai bukti baru dalam persidangan (novum)


Terdapat dua implikasi dari SEMA 2 tahun 2024 terkait penggunaan bukti ini. Pertama, fiskus – dalam hal ini pemeriksa atau penelaah keberatan- akan meminta data yang banyak dan sangat detil dalam proses pemeriksaan dana tau keberatan. Hal ini untuk meminimalisir adaya data baru (novum) dalam persidangan.


Kedua, wajib pajak perlu melakukan mitigasi terhadap pemenuhan data yang diminta oleh fiskus. Sebgaimana diketahui bahwa, pasca terbitnya PMK 15 tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak, jangka waktu pemeriksaan menjadi lebih singkat. Di sisi lain, dengan terbitnya SEMA 2 tahun 2024, jumlah data yang diminta dalam pemeriksaan akan bertambah banyak. Oleh sebab itu, wajib pajak perlu memitigasi permintaan dokumen dengan menyediakan dokumen dalam bentuk softfile terproteksi.


Demikian, sekilas mengenai babak baru sengketa perpajakan. Dalam hal Saudara memerlukan asistensi lebih lanjut, Ideatax siap membantu.


Dasar hukum

 

PreviousNext

Share:

Comments (0)


profile