Ideatax

Akhir Februari 2025 bisa jadi akan diingat menjadi salah satu sejarah kelam bagi industri tekstil Indonesia. Bagaimana tidak, salah satu pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1966 silam akhirnya harus berakhir tragis di meja hijau.
Setelah upaya panjang, PT Sri Rejeki Isman atau yang dikenal dengan Sritex akhirnya harus menutup produksinya dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 10.965 pekerjanya. Keputusan ini sendiri diambil setelah Pengadilan Negeri (PN) Semarang menyatakan bahwa perusahaan tersebut tidak memenuhi unsur kelangsungan usaha .


Sebagaimana diketahui bahwa Sritex digugat pailit oleh krediturnya karena tidak mampu membayar hutang. Bahkan, kurator yang ditunjuk menyatakan bahwa pemasukan yang didapatkan oleh perusahaan tidak cukup untuk membayar gaji karyawan setiap bulannya. Atas dasar tersebut, Hakim memutuskan bahwa tidak terdapat unsur going concern dalam kegiatan usaha Sritex.


Berkaca dari kejadian tersebut, bukan tidak mungkin penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja terjadi pada usaha tekstil lainnya. Terlebih, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) mencatat bahwa selama tahun 2022 sampai dengan 2024, terdapat 60 pabrik tekstil yang telah melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawannya . Bahkan, pada tahun 2024, terdapat 30 pabrik yang telah tutup atau berhenti berproduksi secara total .


Mengutip dari data BPS (2025), diketahui bahwa pada dasarnya industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4,26% pada tahun 2024 . Bahkan, pada kuartal kedua dan ketiga tahun 2024, industri tekstil mampu tumbuh sebesar 7,43% dan 7,17% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year).


Namun demikian, apabila ditelisik lebih lanjut, pertumbuhan pada industri tekstil tersebut merupakan pertumbuhan yang semu. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja, pertumbuhan produk domestik bruto yang terjadi pada industri tekstil merupakan pertumbuhan pada industri tekstil yang berorientasi pada ekspor . Padahal, peningkatan ekspor pada industri tekstil bisa jadi merupakan ekspor atas stok barang yang telah diproduksi pada tahun – tahun sebelumnya.


Beberapa upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk membantu industri sandang. Sebut saja Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176 tahun 2022 tentang Pengenaan Bea Masuk Antidumping Terhadap Impor Produk Polyester Staple Fiber (PSF) dari India, Republik Rakyat Tiongkok, dan Taiwan. Melalui ketentuan tersebut, Pemerintah mengenakan bea masuk anti dumping atas importasi produk polyester dari dimaksud. Tujuannya, untuk melindungi industri tekstil dalam negeri sekaligus mendorong ekspor produk tekstil dan turunannya.


Insentif lainnya yang diberikan terhadap industri tekstil adalah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) Dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025, Pemerintah mengatur bahwa insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan terhadap karyawan dari pemberi kerja yang salah satunya bergerak di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi. Sehingga, berdasarkan ketentuan tersebut, pemberi kerja tidak perlu memotong PPh pasal 21 karyawannya atas masa pajak Januari-Desember 2025.


Namun, nasi sudah menjadi bubur. Pelbagai insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup mampu untuk mengentaskan pelaku usaha tekstil dari keterpurukan. Kebijakan anti dumping yang disebut – sebut mampu mengurangi impor tekstil nyatanya tidak berpengaruh banyak. BPS mencatat bahwa selama tahun 2024 terjadi kenaikan impor tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Dimana pada selama tahun 2023, BPS mencatat nilai importasi tekstil dan produk tekstil adalah sebesar USD8.341.744.667 (BPS, 2024). Sedangkan pada tahun 2024, nilai impor tekstil dan produk tekstil mencapai USD8.944.305.997 (BPS, 2025). Artinya, selama tahun 2024, terdapat kenaikan impor tekstil sebesar 7,22% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year).


Di sisi lain, kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah terhadap karyawan yang bergerak di industri tekstil dan pakaian jadi juga dianggap terlambat. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan PPh Pasal 21 DTP tersebut baru diterbitkan tahun 2025 dan berlaku untuk masa pajak Januari 2025 dan setelahnya. Padahal beberapa indikator fiskal menunjukkan bahwa pelemahan pada industri tekstil sudah terjadi sejak tahun 2023 silam. Kala itu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, menyatakan bahwa secara umum terjadi kenaikan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur di Indonesia, tetapi tidak pada industri tekstil. Saat itu, di tengah kondisi ekspansif sektor manufaktur nasional, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) justru masih mengalami kontraksi (Kemeperin, 2023).


Dalam laporannya yang bertajuk “Managing Tax Incentives in Developing Countries”, International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa terdapat beberapa kerangka legeslasi yang harus diperhatikan agar insentif pajak berjalan efektif. Pertama, insentif pajak harus mempunyai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan jelas (targeted). Kedua, insentif pajak harus mempunyai kriteria penerima yang jelas seperti jenis usaha serta lingkup aktifitas atau sektor yang diberikan insentif pajak. Ketiga, insentif pajak harus mempunyai jangka waktu berlaku yang pasti (temporary). Keempat, insentif pajak perlu menetapkan protocol dan prosedur pemberian insentif pajak apakah dengan permohonan atau tidak. Kelima, insentif pajak harus memberikan sanksi yang tegas kepada wajib pajak yang menyalahgunakan kebijakan insentif atau wajib pajak yang gagal memenuhi target komitmen (Pecho, Markov, Wood, Auclair, & Velayos, 2024).


Berdasarkan hal – hal tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah untuk industri tekstil belum sepenuhnya memenuhi kriteria yang disampaikan oleh IMF. Oleh sebab itu, guna memastikan bahwa insentif fiskal yang diberikan berdampak pada perbaikan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal berupa tax holiday maupun penurunan tarif PPh Badan bagi pelaku usaha industri tersebut. Dari kacamata mikroekonomi, pemberian fasilitas tax holiday maupun pengurangan tarif PPh Badan bagi suatu industri akan memberikan keleluasaan bagi industri tersebut untuk memilih sumberdaya yang paling efisien bagi produksinya. Selain itu, pemberian insentif pajak penghasilan juga secara empiris terbukti mampu meningkatkan investasi factor tenaga kerja dan asset tetap pada usaha kecil dan menengah (Xue, Cai, & Zhang, 2025). Namun demikian, perlu diingat bahwa pemberian insentif maupun fasilitas perpajakan harus bersifat timely, targeted dan temporary. Hal ini untuk memastikan bahwa industri tekstil tidak bergantung terhadap fasilitas fiskal yang diberikan.


Kedua, fasilitas juga dapat diberikan dalam bentuk kemudahan investasi. Artinya, bagi investor yang menanamkan modalnya pada sektor tekstil misalnya, dapat diberikan kemudahan berupa pengurangan penghasilan bruto. Mekanisme yang sama telah diterapkan oleh pemerintah pada Pembangunan IKN. Dimana melalui peraturan pemerintah nomor 12 tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara, Pemerintah memberikan pengurangan tarif pajak kepada investor yang berinvestasi di IKN sesuai dengan jumlah modal yang ditanamkan. Apabila kedua hal tersebut dapat diterapkan, bukan tidak mungkin industri tekstil akan bangkit dari keterpurukan.

 

Referensi

  • BPS. (2024). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Impor 2023 Buku I. Jakarta: BPS.
  • BPS. (2025). [Seri 2010] Laju Pertumbuhan PDB Seri 2010 (Persen), 2024. Jakarta: BPS.
  • BPS. (2025). Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri: Impor Desember 2024. Jakarta: BPS.
  • Kemeperin. (2023, Juli 2). Menperin: PMI Manufaktur Juni 2023 Naik Tinggi, Tapi Industri Tekstil Masih Menderita. Retrieved from Kementerian Perindustrian RI: https://bbt.kemenperin.go.id/blog/konten-55
  • Pecho, M., Markov, S., Wood, P., Auclair, R., & Velayos, F. (2024). Managing Tax Incentives in Developing Countries. New York: IMF.
  • Xue, G., Cai, Y., & Zhang, Y. (2025). The influence of income tax incentives on small and low-profit enterprises’ production factor investment. Economic System, 49(1). doi:https://doi.org/10.1016/j.ecosys.2024.101256
PreviousNext

Share:

Comments (0)


profile