Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah dan bangunan merupakan aspek penting dalam kegiatan social ekonomi Masyarakat Indonesia. Kepemilikan atas tanah dan bangunan menjadi penanda kemapanan social ekonomi. Bahkan pengaturan mengenai kepemilikan tanah dan bangunan sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Dimana pada masa penjajahan Belanda, pengelolaan tanah diatur melalui sistem agrarische wet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870. Pajak atas tanah dikenal sebagai landrente, yang dikenakan kepada rakyat sebagai bentuk kewajiban kepada pemerintah kolonial. Namun, tidak ada sistem pajak khusus untuk transaksi jual beli tanah sebagaimana kita kenal sekarang.
Oleh sebab itu, pajak pengalihan hak atas tanah dan bangunan merupakan komponen penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Pajak ini dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, seperti penjualan, tukar-menukar, hibah, atau warisan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan memastikan keadilan dalam transaksi properti.
Sejarah Singkat
Meskipun pengaturan mengenai jual beli dan kepemilikan tanah dan bangunan telah dikenal sejak 1870 melalui agrarische wet dan pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang – Undang Pokok Agraria Pada Tahun 1960, namun dalam beleid-beleid tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai pengenaan pajak atas transaksi penjualan dan pembelian tanah dan bangunan.
Pengenaan pajak atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia dimulai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh, pemerintah mengatur bahwa penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final, yaitu penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
Ketentuan yang saat ini berlaku
Ketentuan ini selanjutnya diatur secara lebih spesifik melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP 34 tahun 2016. Melalui PP nomor 48 tahun 1994 pemerintah mengatur bahwa atas pengalihan tanah dan bangunan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 5% dari nilai penyerahan tanah dan bangunan tersebut. Namun demikian, semenjak terbit PP 34 tahun 2016, pemerintah merevisi tarif pajak penghasilan atas penyerahan tanah dan bangunan menjadi sebesar 2,5%.
Selain itu, melalui ketentuan tersebut pemerintah juga mengatur bahwa atas penyerahan rumah sederhana dan rumah susun sederhana oleh wajib pajak yang usahanya melakukan pengalihan tanah dan bangunan dikenakan PPh final sebesar 1%. Disisi lain, penyerahan tanah dan bangunan terhadap pemerintah dan BUMN/BUMD yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah dikenakan PPh sebesar 0%. Adapun matriks perubahan tarif adalah sebagai berikut:
No. | Klausul | Tarif cfm. PP 48 tahun 1994 | Tarif cfm. PP 34 tahun 2016 |
1 | Penyerahan tanah dan bangunan | 5% | 2.5% |
2 | Penyerahan tanah dan bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun | Tidak diatur | 1% |
3 | Penyerahan tanah dan bangunan kepada pemerintah, BUMN, BUMD yang mendapat peugasan khusus dari pemerintah. | Tidak diatur | 0% |
Orang atau Badan yang Dikecualikan
Pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan bangunan bersifat final dan harus dibayar sebelum akta pengalihan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang. Selain itu, terdapat pengecualian berupa orang atau badan yang dikecualian dari pembayaran atau pemungutan pajak penghasilan final atas penyerahan tanah dan bangunan, meliputi:
- Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
- Nilai penyerahan tanah dan bangunan dibawah 60 juta dan bukan merupakan bagian yang dipecah – pecah.
- Pengalihan tanah dan bangunan secara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan.
- Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris.
- Pengalihan tanah atau bangunan dalam rangka merger, akuisisi dan pemekaran usaha yang telah ditetapkan oleh Menteri keuangan dengan menggunakan nilai buku.
- Pengalihan tanah dan bangunan oleh bukan subjek pajak.
Mekanisme Pembayaran
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyetor Pajak Penghasilan (PPh) Final ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah penyerahan tanah dan bangunan.
Bukti pembayaran pajak sebagaimana dimaksud harus diserahkan kepada pejabat pembuat akta tanah (PPAT) sebagai syarat untuk melanjutkan proses legalisasi transaksi. Hal ini dikarenakan pasal 3 ayat (5) PP 34 tahun 2016 mengatur bahwa Pejabat yang berwenang baru bisa menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila telah menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Perbandingan dengan Negara Lain
Sama halnya dengan Indonesia, beberapa negara tetangga juga mengenakan pajak atas pengalihan tanah dan bangunan. Malaysian misalnya, mengenakan Real Property Gains Tax (RPGT) dengan tarif progresif berdasarkan lama kepemilikan properti. Di sisi lain, Singapura mengenakan Seller’s Stamp Duty (SSD) jika properti dijual dalam jangka waktu tertentu setelah pembelian, dengan tarif menurun seiring waktu. Sedangkan Australia mengenakan Capital Gains Tax (CGT) atas keuntungan dari penjualan properti, dengan pengecualian untuk tempat tinggal utama.
Pajak pengalihan hak atas tanah dan bangunan berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan pembangunan infrastruktur. Namun, tarif pajak yang tinggi dapat menjadi beban bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pemerintah memberikan tarif khusus atau pembebasan pajak untuk jenis properti tertentu guna meringankan beban tersebut.
Pajak pengalihan hak atas tanah dan bangunan merupakan instrumen penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Dengan sejarah panjang dan regulasi yang terus berkembang, pajak ini berperan dalam meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Perbandingan dengan negara lain menunjukkan berbagai pendekatan dalam pengenaan pajak atas transaksi properti. Untuk meningkatkan efektivitasnya, diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan kepatuhan dan transparansi dalam transaksi properti. Demikian ulasan mengenai pajak atas pengalihan tanah dan bangunan. Apabila Saudara memerlukan penjelasan lebih lanjut, Ideatax siap membantu.
Ketentuan terkait:
- Agrarische wet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870
- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP 34 tahun 2016.