Ideatax

Wider Revenue Activity (untuk selanjutnya disebut WRA) merupakan pendekatan strategis dalam administrasi perpajakan yang bertujuan untuk memperluas basis pajak dengan mengidentifikasi potensi penerimaan pajak dari sumber-sumber yang belum tergarap secara optimal. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap tantangan negara dalam mengatasi penghindaran pajak, ketidakpatuhan sukarela, serta tingginya potensi pajak yang belum tergali (tax gap).

 

WRA tidak terbatas pada peningkatan kapasitas pengawasan, namun juga mencakup integrasi data lintas lembaga, pemanfaatan teknologi informasi, serta kerja sama internasional untuk memperoleh data keuangan wajib pajak. Pendekatan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari sekadar penagihan ke arah strategi pengumpulan data dan pencegahan risiko secara proaktif.

 

Di Indonesia, dasar hukum pelaksanaan aktivitas serupa WRA dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Undang – Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Barang Mewah  serta Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

 

Salah satu contoh pelaksanaan WRA di Indonesia adalah integrasi data kepemilikan kendaraan bermotor, properti, rekening bank, hingga data digital dari penyedia platform e-commerce dan jasa digital. Melalui data tersebut, otoritas pajak dapat menilai kewajaran penghasilan dan kepatuhan wajib pajak.

 

Contoh lain dari WRA adalah pengenaan carbon tax melalui undang – undang HPP. Dimana dalam ketentuan sebelumnya, belum dikenal adanya konsep maupun istilah pajak karbon dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

 

WRA juga erat kaitannya dengan implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI), di mana Indonesia telah aktif sejak 2018. Lewat skema ini, Ditjen Pajak dapat mengakses informasi keuangan warga negara Indonesia di luar negeri secara otomatis dari negara mitra, membantu pengawasan terhadap aset dan transaksi lintas yurisdiksi.

 

Oleh sebab itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 dan berbagai Peraturan Direktur Jenderal Pajak turut menjadi dasar dalam penggunaan data pihak ketiga untuk kepentingan perpajakan. Bahkan, pada tahun 2025, DJP kembali memperbaharui ketentuan mengenai pertukaran informasi mengenai pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional melalui PER-10/PJ/2025.

 

Praktik WRC umumnya juga diterapkan di negara-negara maju. Di Inggris, misalnya, HM Revenue and Customs (HMRC) menjalankan Connect yaitu sistem data analitik canggih yang mengintegrasikan lebih dari 30 sumber data, mulai dari perbankan, perusahaan, properti, hingga media sosial. Sistem ini menjadi bagian inti dari pendekatan WRA di Inggris.

 

Di Australia, Australian Taxation Office (ATO) menerapkan pendekatan data-matching melalui program Data Exchange, yang mengumpulkan data dari lebih dari 600 lembaga dan entitas bisnis, termasuk pengembang properti, agen real estate, dan platform investasi daring. Dengan pendekatan ini, ATO mampu menemukan kepatuhan yang kurang tanpa pemeriksaan langsung.

 

Amerika Serikat melalui Internal Revenue Service (IRS) juga menjalankan strategi serupa melalui program Compliance Assurance Process (CAP) dan Information Returns Processing (IRP) yang mengandalkan pelaporan pihak ketiga dan penggunaan teknologi untuk mendeteksi kesenjangan pajak.

 

Efektivitas WRA sangat bergantung pada infrastruktur data dan kerangka hukum yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan data pribadi dan kepastian hukum menjadi syarat mutlak agar tidak menimbulkan pelanggaran hak warga negara serta menjaga kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan.

 

Tantangan utama dalam implementasi WRA di negara berkembang termasuk Indonesia adalah terbatasnya interoperabilitas sistem antar lembaga pemerintah, rendahnya kualitas data, serta keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi. Selain itu, resistensi dari pihak-pihak yang selama ini berada di sektor informal juga menjadi hambatan tersendiri.

 

Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan komitmen lintas sektor, termasuk sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak dengan OJK, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan instansi lain. Center of Gravity dari WRA adalah koordinasi dan integrasi data nasional secara menyeluruh dan real-time.

 

Ke depan, WRA dapat diperluas ke ranah pajak lingkungan, pajak atas transaksi digital, dan ekonomi berbasis aset kripto. Oleh karena itu, pengembangan regulasi adaptif menjadi penting agar otoritas pajak dapat menjangkau sektor-sektor ekonomi baru yang sebelumnya sulit dimonitor.

 

Dampak positif dari pelaksanaan WRA yang efektif dapat terlihat dari meningkatnya kepatuhan sukarela, menurunnya penghindaran pajak, serta meningkatnya rasio pajak (tax ratio) nasional. Hal ini akan berdampak langsung terhadap peningkatan kapasitas fiskal negara untuk mendanai pembangunan.

 

Namun, WRA bukanlah alat pemaksa, melainkan kerangka kebijakan yang didesain untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan transparan. Oleh karena itu, edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai pentingnya kepatuhan pajak tetap menjadi pilar utama strategi ini.

 

Kesimpulannya, Wider Revenue Activity merupakan strategi penting untuk memperkuat sistem perpajakan di era digital dan keterbukaan informasi. Dengan dukungan hukum yang kuat, teknologi yang tepat, serta koordinasi yang baik antar lembaga, WRA berpotensi menjadi game-changer dalam upaya optimalisasi penerimaan negara di masa depan.

 

Dasar Hukum

 

  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)  sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  • Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  • Undang – Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Barang Mewah  sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-67/PJ./2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan PER-10/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional.
PreviousNext

Share:

Comments (0)


profile