Baru saja DJP menerbitkan Laporan Tahunan 2023. Berdasarkan laporan yang merupakan bentuk akuntabilitas DJP tersebut diketahui bahwa selama tahun 2023, DJP telah melakukan pencegahan terhadap para penanggung pajak untuk menagih utang pajak yang nilainya mencapai 1,5 trilliun rupiah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang dilakukan pencegahan untuk bepergian ke luar negeri mengalami penurunan sebesar 24,3%. Dimana pada tahun sebelumnya, jumlah Wajib Pajak yang diajukan pencegahan ke Kementerian Hukum dan Ham adalah sebesar 436 penanggung pajak.
Pencegahan sendiri merupakan salah satu upaya dari otoritas perpajakan untuk memberikan deterrent effect bagi penanggung pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakan. Syarat dan prosedur pencegahan sendiri diatur secara tersendiri dalam Undang – undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang nomor 19 tahun 2000. Melalui artikel kali ini, kita akan membahas prosedur dan tata cara penagihan pajak untuk meminimalkan risiko Wajib Pajak dari upaya penagihan pajak dengan Surat Paksa.
Surat Paksa
Undang – undang Nomor 19 tahun 1997 jo UU Nomor 19 tahun 2000 mendefinisikan Surat Paksa sebagai surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
Surat Paksa diterbitkan apabila memenuhi setidaknya satu dari tiga kriteria sebagai berikut. Pertama, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Kedua, terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. Ketiga, Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pada dasarnya Surat Paksa diterbitkan setelah pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan dan surat lain yang sejenis. Namun demikian, dalam penagihan seketika dan sekaligus, Surat Paksa dapat diterbitkan sebelum maupun sesudah penerbitan surat teguran, surat peringatan maupun surat lain yang sejenis. Surat sejenis yang dimaksud di sini adalah surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau Surat Peringatan dalam upaya penagihan pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
Terdapat empat elemen yang setidaknya harus ada dalam Surat Paksa. Pertama, nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak. Kedua, dasar penagihan. Ketiga, besarnya utang pajak. Keempat, perintah untuk membayar. Apabila satu dari keempat elemen tersebut tidak terdapat dalam Surat Paksa, maka wajib pajak dapat mengajukan gugatan terhadap Surat Paksa tersebut ke pengadilan pajak. 
Meskipun Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial, Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan apabila Surat Paksa diberitahukan kurang dari dua kali dua puluh empat jam. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa yang bersangkutan.
Penyitaan
Di atas sudah disebutkan bahwa apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dalam jangka waktu dua kali duapuluh empat jam sebagaimana dimaksud dalam Surat Paksa, Pejabat DJP dapat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Selanjutnya, UU 19/1997 jo UU 19/2020 juga mengatur bahwa Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. Setelahnya, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
Pada dasarnya penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak dan barang tidak bergerak milik penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain. Namun demikian, UU 19/1997 jo UU 19/2000 mengatur bahwa terdapat enam barang yang dikecualikan dari penyitaan, diantaranya adalah:
- pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
- persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
- perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;'
- buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
- peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
- peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dalam hal barang penanggung pajak telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian, maka sebagai barang bukti dalam kasus pidana, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang dimaksud akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung Pajak. Selanjutnya, Kejaksaan atau Kepolisian akan segera memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa untuk segera melaksanakan penyitaan sebelum barang dimaksud dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
Namun demikian, UU 19/1997 jo UU 19/2000 mengatur bahwa barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak dapat disita untuk kepentingan penagihan pajak. Terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan, Jurusita Pajak akan menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Dalam sidang berikutnya, Pengadilan akan menetapkan barang yang telah disita sebagai jaminan penunasan utang pajak. Selain itu, Pengadilan yang berwenang juga akan menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak.
Meskipun hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, namun demikian hak mendahulu tersebut tidak berlaku terhadap biaya – biaya berikut. Pertama, biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Kedua, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud. Ketiga, biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Pencegahan
Tahap selanjutnya dari Upaya penagihan pajak setelah penyitaan adalah pencegahan. UU 19/1997 jo UU 19/2000 mendefinisikan pencegahan sebagai larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak minimal sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajaknya.
Jangka waktu pencegahan paling lama adalah selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi selama 6 bulan berikutnya. Selain itu, Pencegahan juga dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris.
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan di hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini sebagaimana dijelaksan oleh ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Oleh sebab itu, meskipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dapat dilaksanakan.
Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Masa penyanderaan paling lama adalah selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi untuk selama – lamanya 6 bulan berikutnya. Namun demikian, Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum.
Demikian Gambaran umum proses penagihan pajak dengan Surat Paksa, dalam artikel selanjutnya kita akan membahas detil proses penagihan pajak.


