Perkembangan teknologi telah mengubah lanskap perekonomian dunia. Saat ini, pengusaha dapat melakukan usaha dimana saja dan kapan saja tanpa ada batasan jelas mengenai sekat ruang dan waktu. Perusahaan yang didirikan di luar negeri dapat saja melakukan usaha di Indonesia tanpa perwakilan maupun pegawainya di Indonesia. Begitu juga konsumen di Indonesia dapat menikmati layanan perusahaan asing meskipun perusahaan tersebut tidak berada di Indonesia.
Masalahnya, ketentuan perpajakan tidak cukup mampu untuk mencegah adanya profit shifting akibat adanya transaksi borderless tersebut. Perbedaan ketentuan perpajakan antar negara dan belum adanya kesepakatan internasional mengenai model pemajakan digital ekonomi menjadi pemicu utama ketimpangan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka tahun 2021, OECD bersama dengan 135 juridiksi perpajakan lainnya menandatangani kesepakatan The Global Anti Base Erosion Rules (Globe). Globe adalah komponen inti dari sistem perpajakan internasional yang bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak minimum dari penghasilan yang diperoleh di setiap yurisdiksi perpajakan tempat mereka melakukan kegiatan operasi (OECD, 2021).
Secara spesifik, ketentuan Globe memberikan panduan bagi yurisdiksi perpajakan untuk dapat mengenakan pajak tambahan atas keuntungan perusahaan multinasional yang beroperasi di yurisdiksi perpajakan tersebut ketika tarif pajak efektif yang dikenakan di yurisdiksi tersebut lebih rendah daripada tarif pajak minimum yang disepakati (OECD, 2021). Dalam laporannya yang berjudul Tax Challenges Arising from Digitalisation of the Economy – Global Anti-Base Erosion Model Rules (Pillar Two), OECD mengharapkan agar kesepakatan globe tersebut dapat berlaku efektif pada tahun 2022 (OECD, 2021).
Namun, dalam ketentuan domestik Indonesia, kesepakatan globe baru diimplementasikan secara efektif sejak 2025. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasioal, pemerintah mengatur bahwa mulai bulan Januari 2025 pemerintah mengenakan Globe sebagai ketentuan pengenaan pajak tambahan yang dikembangkan oleh OECD/G20 Intensive Framework (IF) on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang meliputi commentary, examples, agreed administrative guidance, GloBE information return, and safe harbors and penalty relief.
Ketentuan PMK 136 Tahun 2024 tersebut mengatur bahwa global minimum tax berlaku terhadap grup perusahaan multinasional dengan peredaran bruto lebih dari EUR750.000.000 atau senilai Rp12.675.750.000.000 dalam setahun (asumsi kurs Rp16.901/EUR). Tetapi ketentuan ini juga mengatur bahwa apabila tahun pajak diperolehnya peredaran bruto kurang dari dua belas bulan, nilai peredaran bruto dihitung dengan cara disetahunkan.
Selanjutnya, ketentuan tersebut juga mengatur bahwa apabila anggota grup perusahaan multinasional baru didirikan pada tahun 2025, maka global minimum tax terhadap grup multinasional tersebut baru dikenakan pada tahun ketiga.
Meskipun ketentuan PMK 136 tahun 2024 mensyaratkan nilai peredaran bruto konsolidasian sebesar EUR 750 juta sebagai batas minimum pengenaan global minimum tax, ketentuan ini juga mengatur mengenai nilai variasi agregat yang timbul dari perbedaan penerapan prinsip atau prosedur akuntansi. Nilai variasi agregat tersebut selanjutnya disebut sebagai material competitive distortion. Adapun nilai material competitive distortion yang diterapkan oleh pemerintah berdasarkan PMK 136 Tahun 2024 adalah sebesar EUR 75 juta.
Selanjutnya, terdapat enam entitas yang dikecualikan dari pengenaan global minimum tax, diantaranya adalah badan pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, entitas dana pensiun, entitas dana investasi yang merupakan entitas induk utama dan entitas investasi real estate yang merpakan entitas induk utama.
Badan penerimtah yang dikecualikan dari pengenaan pajak minimum global adalah badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundan–undangan, memiliki fungsi utama untuk memenuhi fungsi pemerintah, bertanggung jawab kepada pemerintah dan hartanya beralih kepada pemerintah saat dibubarkan.
Sedangkan organisasi internasional yang dikecualikan dari pengenaan pajak minimum global adalah organisasi yang utamanya berasal dari pemerintah, memiliki persetujuan dengan negara atau yurisdiksi lain, serta dalam dokumen pembentukannya mencegah penghasilan yang menguntungkan pihak selain pemerintah. Di sisi lain, entitas dana pensiun yang dikecualikan dari pengenaan pajak minimum global adalah entitas yang didirikan dan dioperasikan secara ekskusif untuk menginvestasikan dana demi keuntungan entitas dana pensiun dan untuk menjalankan kegiatan usaha yang bersifat tambahan.
Lalu yang dimaksud Entitas dana investasi real estate (real estate investment vehicle) adalah entitas yang pemajakannya dilakukan satu kali pada tingkat Entitas tersebut atau pada tingkat pemegang kepentingannya dengan penundaan paling lama 1 (satu) tahun, sepanjang Entitas tersebut utamanya memiliki harta tidak bergerak dan dimiliki secara luas. Selain itu, ketentuan pajak minimum global juga dikecualikan terhadap entitas yang minimal 95% kepemilikannya dimiliki oleh entitas yang dikecualikan dari global minimum tax sebagaimana tersebut di atas atau minimal 85% kepemilikiannya dimiliki oleh entitas yang dikecualikan dari pengenaan global minimum tax sepanjang dividen yang diterima dikecualikan dari penghitungan laba rugi konsolidasian grup usaha.
Demikian sekilas mengenai Global minimum tax dalam ketentuan domestic Indonesia. Dalam artikel selanjutnya, kita akan membahas ketentuan teknis dari penerapan Global minimum tax tersebut. Namun, apabila anda mempunyai pertanyaan lebih lajut, Ideatax siap membantu.
References
- OECD. (2021, June 12). Global Anti-Base Erosion Model Rules (Pillar Two). Retrieved from ecd: https://www.oecd.org/en/topics/sub-issues/global-minimum-tax/global-anti-base-erosion-model-rules-pillar-two.html
- OECD. (2021). Tax Challenges Arising from Digitalisation of the Economy – Global Anti-Base Erosion Model Rules (Pillar Two). Paris: OECD.