Hello, is there anything we can help?

Peluang dan Tantangan International Compliance Assurance Program (ICAP)

Peluang dan Tantangan International Compliance Assurance Program (ICAP)

PPN

11 Dec, 2023 14:12 WIB

Jakarta, Idetax -- Baru – baru ini OECD merilis laporan mengenai data statistic mutual agreement procedures (MAP) 2022. Dalam laporan tersebut, OECD melaporkan bahwa terjadi peningkatan jumlah wajib pajak yang tertarik dengan penyelesaian sengketa perpajakan melalui MAP (OECD, 2023). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah wajib pajak yang mengajukan MAP meningkat sekitar 3%. 


Selain itu, OECD juga melaporkan bahwa terjadi jumlah penurunan jumlah kasus yang diselesaikan melalui MAP (OECD, 2023). Penurunan jumlah kasus yang dapat diselesaikan melalui MAP diperkirakan sekitar 4%. Namun demikian, OECD juga memberikan catatan positif bahwa sebanyak 73% kasus MAP diselesaikan dengan kesepakatan damai.

 

Program ICAP
Selain melalui mekanisme MAP, terdapat mekanisme Advance Price Agreement (APA) dapat ditempuh untuk meredam sengketa perpajakan internasional. Namun demikian, untuk mecapai kesepakatan MAP maupun APA membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebagai alternatif, OECD menawarkan suatu program yang bernama International Compliance Assurance Program (ICAP) kepada negara – negara anggotanya. ICAP merupakan sebuah program Kerjasama sukarela untuk meningkatkan tax certainly melalui risk assessment dan assurance secara multilateral. Menurut OECD, program ini didesain dengan pendekatan yang efektif, efisien, dan terkoordinasi untuk memberikan kepastian perpajakan secara transparan dan terbuka atas aktifitas usaha dan transaksi yang dilakukan oleh grup multinational enterprise (MNE) yang berpartisipasi secara sukarela (OECD, 2021). 

 


Baca Juga: Mengenal Mutual Agreement Procedures



Program ICAP ini pertama kali diluncurkan pada bulan Januari 2018 yang diikuti oleh 8 juriksi perpajakan yaitu: Kanada, Australia, Jepang, Italia, Spanyol, Amerika, Inggris dan Belanda.  Keanggotaan ini bertambah pada tahun 2019 menjadi 18 negara seiring dengan suksesnya piloting ICAP pada tahun sebelumnya. Berbeda dengan APA yang menghasilkan output berupa kepastian hukum, ICAP menghasilkan output berupa kemudahan dan jaminan perlakuan perpajakan Selain itu, ICAP tidak bersifat retrospektif seperti APA. Artinya, ICAP memberikan assurance atas tahun – tahun pajak dimana Wajib Pajak telah menyampaikan SPT nya, namun belum dilakukan pemeriksaan pajak (OECD, 2021).


Apabila sebuah Wajib Pajak mengikuti program ICAP, maka Wajib Pajak tersebut akan menerima surat dari otoritas perpajakan (outcome letters) mengenai area mana saja yang dianggap berisiko rendah dan area mana saja yang dianggap berisiko tinggi. Terhadap area yang berisiko rendah, otoritas perpajakan akan mengalokasikan resource yang lebih rendah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Sebaliknya, terhadap area yang berisiko tinggi, otoritas perpajakan akan meminta kepada Wajib Pajak untuk melakukan serangkain prosedur untuk menekan risiko tersebut menjadi risiko rendah.


Ada empat tahapan dalam implementasi ICAP: Pre-entry, scoping, risk assessment dan output. Dalam tahap pre-entry, Wajib Pajak yang ingin mengikuti ICAP akan mengirimkan pemberitahuan ke otoritas pajak dimana entitas induk tertinggi (ultimate parent entity) terdaftar. Selanjutnya, otoritas pajak tersebut akan melakukan diskusi mengenai prosedur, kecocokan dengan program ICAP, ruang lingkup dan lain sebagainya. Pada tahap pertama ini, otoritas pajak juga akan menjalin komunikasi dengan otoritas pajak lainnya dimana anak usaha atau induk Wajib Pajak tersebut berada.  Pada tahap yang kedua, yaitu scoping, otoritas pajak akan meminta dokumen kepada Wajib Pajak mengenai detil transaksi, copy CbCr, Masterfile, daftar APA dan lain sebagainya. Pada tahap ketiga, yaitu risk assessment, otoritas pajak akan menilai risiko yang dimiliki oleh Wajib Pajak berdasarkan dokumen yang disampaikan dan berdasarkan diskusi dengan Wajib Pajak dan otoritas pajak lainnya. Terakhir, pada tahap outcome, otoritas pajak akan menerbitkan outcome letter yang berisi risk rating, area yang dianggap memiliki risiko rendah dan caveats/limitation (OECD, 2021).

 

Program ICAP Tidak Efektif Untuk Seluruh Sengketa Perpajakani
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa secara umum program ICAP efektif mengurangi sengketa perpajakan internasional karena memberikan assurance sebelum dilakukan tax audit. Namun demikian, tidak semua sengketa perpajakan dapat dimitigasi oleh program ICAP. Menurut penulis ada tiga alasan yang membuat program ICAP tidak efektif untuk mengurangi sengketa perpajakan yang ditimbulkan oleh usaha pemajakan youtuber oleh pemerintah US. Pertama, program ICAP didesain untuk mengurangi sengketa  pajak MNE yang mempunyai anak atau induk usaha di negara lain sementara youtuber umumnya merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak terafiliasi dengan Wajib Pajak di negara lain. Sehingga, pengaplikasian ICAP untuk mengurangi sengketa perpajakan youtuber memerlukan banyak modifikasi terhadap ICAP itu sendiri. Kedua, program ICAP lebih menekankan kepada risk assessment Wajib Pajak sebelum dilakukan tax audit sementara sengketa pajak youtuber lebih disebabkan karena perbedaan kebijakan pemajakan ekonomi digital antar otoritas perpajakan. Ketiga, pemerintah Indonesia belum memiliki data yang lengkap mengenai jumlah youtuber yang ada di Indonesia. Kondisi ini akan menyulitkan posisi bargaining power pemerintah dalam negosiasi program ICAP.


Oleh karena program ICAP tidak efektif dalam mengurangi potensi sengketa perpajakan yang melibatkan youtuber maka pemerintah harus mengambil solusi strategis diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, DJP dapat mendorong OECD untuk memperluas cakupan program ICAP tidak hanya terbatas pada MNE tetapi juga Wajib Pajak Orang Pribadi. Sebagaimana kita ketahui bahwa transaksi digital berkembang dengan sangat cepat sehingga untuk mendapatkan penghasilan dari negara lain, seseorang tidak perlu mendirikan suatu badan hukum terlebih dahulu. Dengan memperluas scope dari program ICAP, tidak hanya mengurangi potensi sengketa perpajakan namun juga mengurangi effort otoritas perpajakan dalam mengalokasikan resources untuk mengawasi wajib pajak OP tersebut. Kedua, DJP harus mendorong negara – negara OECD untuk segera mencapai kesepakatan mengenai apa saja dan bagaimana mekanisme pemajakan terhadap transaksi digital. Hal ini penting untuk mencegah negara – negara OECD untuk melakukan tindakan unilateral terkait kebijakan pemajakan ekonomi digital. Ketiga, DJP perlu membuat sebuah portal khusus untuk memberikan guidance dan asistensi bagi Wajib Pajak youtuber dalam menghadapi kebijakan pemajakan pemerintah US. Hal ini dikarenakan tidak semua Wajib Pajak youtuber mengetahui hak dan kewajiban perpajakannya. Oleh sebab itu, keberadaan portal khusus tersebut sangat esensial sebagai sarana edukasi dan konsultasi wajib pajak youtuber. Selain itu, portal ini juga dapat berfungsi untuk mendata wajib pajak youtuber di Indonesia.


Pada akhirnya kita semua berharap agar consensus negara – negara OECD mengenai pemajakan atas ekonomi digital dapat segera tercapai agar terwujud sistem pemajakan yang adil tidak hanya bagi negara – negara OECD, tetapi juga kepada Wajib Pajak.


Referensi
OECD. (2021). International Compliance Assurance Programme: Handbook for tax administrations and MNE groups. Paris: OECD. Retrieved from http://www.oecd.org/tax/forum-on-tax-administration/publications-and-products/international-compliance-assurance-programme-handbook-for-tax-administrations-and-mne-groups.htm
OECD. (2023, 11 14). OECD releases information and statistics on Mutual Agreement Procedures. Retrieved from OECD: https://www.oecd.org/tax/dispute/oecd-releases-information-and-statistics-on-mutual-agreement-procedures.htm
Pertiwi, W. K. (2021, March 11). AS Bakal Tarik Pajak dari YouTuber di Seluruh Dunia, Ini Detailnya. Retrieved from Kompas: https://tekno.kompas.com/read/2021/03/11/14230037/as-bakal-tarik-pajak-dari-youtuber-di-seluruh-dunia-ini-detailnya?page=all