Hello, is there anything we can help?

Selamat Datang Era Baru Pajak Dividen

Selamat Datang Era Baru Pajak Dividen

PPh

27 Feb, 2023 11:02 WIB

Jakarta, Ideatax -- Baru – baru ini Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Aturan Pajak Penghasilan. Banyak hal baru yang diatur dalam beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang – undang Harmonisasi Perpajakan tersebut. Salah satunya adalah aspek perpajakan atas dividen.

Dalam peraturan tersebut antara lain diatur bahwa pembagian dividen dikecualikan sebagai objek pajak dengan persyaratan tertentu. Padahal, dalam aturan-aturan sebelumnya, dividen merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 maupun 4(2). Perubahan pemajakan dividen ini tentu akan memberikan dampak yang signifikan terhadap iklim investasi di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu pemahaman yang komprehensif aspek pajak atas dividen.

Secara umum, dividen didefinisikan sebagai pembagian keuntungan oleh sebuah perusahaan kepada pemegang sahamnya (Sullivan, Sheffrin, & Steven, 2003). Dividen yang diterima oleh pemegang saham merupakan penghasilan bagi penerimanya dan dapat dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan.

Perlu diketahui bahwa perusahaan publik pertama dan terlama yang tercatat secara rutin membagikan dividen adalah Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang lebih dikenal sebagai VOC (Atkinson, 2014 ). Menurut Atkinson, VOC secara rutin membayar dividen sebesar 18% nilai sahamnya kepada pemegang saham selama tahun 1602 – 1800. Selain itu, VOC juga tercatat sebagai perusahaan pertama yang menjual sahamnya di pasar saham (Petram, 2014).

Di Indonesia sendiri, pajak atas dividen mempunyai sejarah yang panjang dan berliku. Pada zaman Mataram Islam misalnya, sudah dikenal adanya pajak penghasilan atas pembagian laba serta bunga dari surat aandeel (saham), tepatnya pada tahun 1853 – 1881 (DJP, 2017).

Setelah Indonesia merdeka, pengenaan pajak atas dividen diatur dalam Perpu Nomor 12 tahun 1959 tentang Pajak Dividen. Selanjutnya, pengenaan pajak atas dividen dipertegas dengan hadirnya Undang – undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan UU 16 tahun 2008. Menurut UU Nomor 8 tahun 1983 diatur bahwa pajak atas dividen dikenakan atas laba bersih korporasi yang dibagikan kepada Wajib Pajak Badan dengan kepemilikan dibawah 25% dan kepada Wajib Pajak orang pribadi tanpa minimal prosentase kepemilikan.

Sistem pemajakan dividen yang dianut oleh Indonesia selama ini jamak disebut sebagai classical system atau two tier system. Hal ini dikarenakan atas sumber penghasilan yang sama dikenakan pajak sebanyak dua kali. Yaitu, pada tingkat laba bersih korporasi dan pada tingkat laba bersih  yang dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen (Cnossen, 1996).

Namun demikian, penerapan classical system atau two tier system tersebut mempunyai implikasi samping. Pertama, pemajakan berganda pada two tier system akan menyebabkan penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya, suatu keuntungan yang sama dikenakan pajak sebanyak dua kali. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Poterba dan Summers (1984) yang menyatakan bahwa pajak atas dividen mengurangi investasi pada korporasi dan menimbulkan distorsi pada alokasi modal. Kedua, penerapan classical system pada pajak atas dividen berpotensi menimbulkan tax avoidance berupa dividen terselubung.

Menyadari kelemahan – kelemahan yang terdapat pada classical system, maka melalui Undang – Undang Harmonisasi Perpajakan yang selanjutnya diturunkan melalui PP 55 tahun 2022, Pemerintah mengecualikan dividen sebagai objek pajak dengan persyaratan tertentu. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan iklim kemudahan bisnis (ease of doing business) yang pada akhirnya akan meningkatkan foreign direct investment.

Dengan pengecualian dividen sebagai objek pajak penghasilan ini maka secara tidak langsung Pemerintah telah mengubah sistem pemajakan atas dividen yang semula two tier system menjadi single tier system. Roger (2015) dalam IBFD International Tax Glossary menyebutkan bahwa single tier system atau dividen exclusion system adalah sistem pemajakan yang hanya dikenakan pada tingkat laba perseroan. Sehingga, laba yang dibagikan kepada pemegang saham tidak lagi dikenakan pajak.Terdapat beberapa negara yang telah menerapkan one tier system, diantaranya adalah Malaysia dan Singapura (Fitriandi, Setiawan, & Widodo, 2019).

Terdapat beberapa keunggulan kompetitif penggunaan single tier system dibandingkan sistem lainnya. Pertama, penerapan single tier system akan mengurangi praktik penghindaran pajak khususnya pada dividen terselubung. Kedua, penerapan single tier akan mengurangi biaya administratif otoritas perpajakan. Ketiga, penerapan single tier system terbukti dapat meningkatkan jumlah investasi di suatu negara.

Meskipun single tier system memiliki sejumlah keuntungan komparatif, namun demikian penerapan sistem tersebut akan menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, dalam jangka pendek akan terjadi penurunan pembayaran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Hal ini utamanya disebabkan karena tidak adanya pembayaran PPh Pasal 4 (2) dan PPh Pasal 23 atas dividen.

Kedua, dalam jangka panjang, single tier memicu perubahan pola pemberian deviden kepada pemegang saham. Sebelum UU HPP diterapkan, bisa jadi pemberian dividen terselubung dalam bentuk fasilitas dan kemudahan kepada pemegang saham masih marak dilakukan. Hal ini dikarenakan pemberian fasilitas atau natura kepada pemegang saham bukan merupakan objek pajak. Di sisi lain, pemberian dividen merupakan objek PPh 23 dan PPh Pasal 4(2) dengan tarif 15% dan 10%.

Dengan diterapkannya UU HPP maka kondisi ini seolah berubah. UU HPP mengatur bahwa pemberian fasilitas dan/atau natura merupakan objek pajak penghasilan. Di lain pihak, pemberian dividen dikecualikan dari objek pajak dengan persyaratan tertentu. Sehingga, di masa mendatang terdapat kemungkinan terjadinya perubahan pola pemberian dividen.

Ketiga, ketentuan mengenai pengecualian dividen sebagai objek pajak berpotensi meningkatkan belanja perpajakan atau tax expenditure. Menurut IMF (2019), belanja perpajakan adalah kebijakan alternatif yang diambil oleh pemerintah dalam rangka memberikan dukungan keuangan kepada individu maupun perusahaan misalnya dalam bentuk insentif, pembebasan maupun pengurangan pajak.

 

Referensi

Atkinson, S. (2014 ). The Business Book: Big Ideas Simply Explained. United Kingdom: Dorling Kindersley Publishing, Incorporated.

Cnossen, S. (1996). Company Taxes in teh European Union: Criteria and Options for Reform. Fiscal Studies, 17(4), 67-97.

Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat. (2017). Jejak Pajak Indonesia: Abad ke-7 sampai Tahun 1966. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

Fitriandi, P., Setiawan, b., & Widodo, A. (2019). Pajak Berganda Secara Ekonomis atas Penghasilan Dividen di Indonesia dan Alternatif Penyelesaiannya. Jurnal Pajak Indonesia, 2(1), 68-76.

IMF. (2019). Tax Expenditure Reporting and Its Use in Fiscal Management. Washington DC: IMF.

Kemenkeu. (2022). Laporan Belanja Perpajakan 2021. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Petram, L. (2014). The World’s First Stock Exchange. New York: Columbia University Press.

Poterba, J., & Summers, L. (1984). The Economic Effects of Divident Taxation. Cambridge: National Bureau of Economic Research.

Rogers, J. (2015). IBFD International Tax Glossary, 7th Edition. London: IBFD Tax Research.

Sullivan, A., Sheffrin, & Steven. (2003). Economics: Principles in Action. Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Prentice Hall.