Hello, is there anything we can help?

Rencana Pajak Karbon di Indonesia

Rencana Pajak Karbon di Indonesia

Carbon Series

10 Apr, 2023 09:04 WIB

Ideatax, Jakarta -- Dalam waktu dekat, pemerintah Indonesia akan memberlakukan undang-undang pajak karbon sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, wajib pajak Indonesia tidak tahu banyak tentang jenis pajak ini. Kondisi ini dikarenakan pajak karbon, pajak yang merupakan turunan dari pajak pigouvian , sebelumnya belum diakui dalam sistem perpajakan di Indonesia. Melalui opini tersebut, penulis mencoba memberikan penjelasan sekaligus memberikan saran mengenai mekanisme pajak karbon.

Pasal 13 UU Harmonisasi Pajak mengatur bahwa pajak karbon dikenakan terhadap emisi karbon yang merusak lingkungan. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan mempertimbangkan roadmap pajak karbon dan roadmap pasar karbon. Lebih lanjut, UU tersebut juga mengatur bahwa peta jalan karbon berisi strategi penurunan emisi karbon, target sektor prioritas, keselarasan dengan pengembangan energi terbarukan, dan keselarasan dengan kebijakan lainnya.

Selanjutnya, Pasal 13 UU Harmonisasi Pajak juga mengatur bahwa subjek Pajak Karbon adalah orang perseorangan atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Sementara itu, objek pajak karbon adalah pembelian barang yang mengandung karbon atau kegiatan yang menghasilkan sejumlah emisi karbon. Tarif pajak karbon lebih tinggi atau sama dengan tarif harga karbon di pasar setara karbon dioksida (CO2) atau unit yang setara.

Penerapan pajak karbon tidak lepas dari tingginya tingkat pencemaran di Indonesia. Menurut Dunne (2021), pada tahun 2015, Indonesia dinobatkan sebagai negara penghasil emisi terbesar keempat di dunia. Fakta lain menyatakan bahwa pada tahun 2016 indeks pencemaran di Indonesia sebesar 21,6 μg/m3 atau jauh di atas standar WHO sebesar 10,0 μg/m3 (Greenstone &; Fan, 2019). Lebih lanjut, Dunne (2020) juga menyatakan bahwa emisi per kapita di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 9,2 ton CO2 atau lebih tinggi dari rata-rata emisi per kapita dunia sebesar 7,0 ton CO2.

Tingginya tingkat polusi menyebabkan berbagai implikasi negatif seperti perubahan iklim, hujan asam, peningkatan jumlah orang yang menderita pneumonia dan bronkitis, peningkatan anggaran kesehatan, dan penurunan investasi. Selain itu, Greenstone &; Fan (2019) melaporkan bahwa rata-rata harapan hidup di Indonesia berkurang 1,2 tahun karena polusi.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi polusi di Indonesia. Seperti persyaratan uji emisi kendaraan, persyaratan standar Euro 3, moratorium izin pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut, pengaturan jam kerja, hari bebas mobil, dan sebagainya.

Namun, upaya tersebut tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Harmonisasi Pajak, Pemerintah berharap dapat menurunkan tingkat emisi di Indonesia sesuai kesepakatan Paris Pledge. Menurut Himes &; Kam (1999), pajak karbon memiliki berbagai keunggulan kompetitif dalam menurunkan tingkat emisi dibandingkan dengan instrumen kebijakan lainnya. Pertama, pajak karbon dapat mengurangi emisi dengan biaya lebih rendah dibandingkan instrumen kebijakan lainnya. Kedua, penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk mengisi kas negara sekaligus melaksanakan program perbaikan lingkungan. Ketiga, pajak karbon dapat mengurangi distorsi perpajakan. Keempat, pajak karbon dapat mendorong inovasi teknologi secara berkelanjutan.

Meskipun pajak karbon memiliki berbagai keunggulan, pajak karbon juga menciptakan eksternalitas. Pertama, pengenaan pajak karbon akan menaikkan harga BBM dan meningkatkan biaya produksi. Dari perspektif makroekonomi, kenaikan harga energi ini berdampak negatif pada semua indikator ekonomi makro. Lebih lanjut, BKF memperkirakan bahwa penerapan pajak karbon akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06% dari yang seharusnya (Kementerian Keuangan, 2021).

Kedua, pengenaan pajak karbon juga akan menimbulkan masalah etika di mana pelaku ekonomi akan berpikir bahwa mereka dapat bebas mencemari lingkungan selama mereka membayar pajak karbon. Ketiga, pajak karbon dapat menyebabkan distorsi dan tumpang tindih perpajakan dengan PPh Pasal 22 migas, batubara, dan pajak daerah kendaraan bermotor.

Oleh karena itu, agar pajak karbon efektif dalam menurunkan tingkat polusi di Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dilakukan Pemerintah. Pertama, sebelum menerapkan pajak karbon, Pemerintah harus menghilangkan pajak yang berpotensi menyebabkan distorsi pajak. Misalnya, Pemerintah dapat merestrukturisasi Pasal 22 undang-undang pajak penghasilan atas pajak batubara, minyak, gas, dan kendaraan bermotor. Tindakan ini penting untuk menghilangkan pajak berganda atas konsumsi energi yang dapat menyebabkan biaya ekonomi tinggi.

Kedua, Pemerintah harus mendefinisikan secara jelas objek pajak karbon. Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019), diketahui bahwa sumber polutan terbesar di Indonesia pada tahun 2018 adalah sektor kehutanan dan gambut, yaitu sebesar 44%, diikuti oleh sektor energi sebesar 36% dan limbah sebesar 8%. Oleh karena itu, selain mengenakan pajak karbon atas konsumsi energi, Pemerintah juga harus mengenakan pajak karbon atas kegiatan yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Ketiga, Pemerintah perlu mengatur secara jelas mekanisme pembayaran, pelaporan, dan pemantauan pajak karbon. Kebijakan ini penting untuk menghindari penghindaran pajak dalam pajak karbon dan meningkatkan kepatuhan pajak.

Keempat, untuk mendukung penerapan pajak karbon, Pemerintah dapat secara konsisten memberikan insentif pajak kepada sektor industri yang menggunakan inovasi energi terbarukan. Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan menarik investasi terbarukan dan mengubah pola perilaku pelaku ekonomi menuju ekonomi hijau.

Pada akhirnya, kami berharap bahwa implementasi pajak karbon akan secara efektif mengurangi emisi di Indonesia dan, pada saat yang sama, mempercepat inovasi dalam ekonomi hijau dan meningkatkan pendapatan anggaran.

 

 

 

Peraturan Terkait

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

 

Referensi

Dunne, D. (2022, Januari 06). Profil Carbon Brief: Indonesia. Diperoleh dari Carbon Brief: clear on climate: https://www.carbonbrief.org/the-carbon-brief-profile-indonesia

Greenstone, M., & Fan, Q. (2019). Kualitas udara Indonesia yang memburuk dan dampaknya terhadap harapan hidup. Chicago: AQLI: Indeks Kehidupan Kualitas Udara.

Himes, S., & Kam, F.d. (1999). Pajak Terkait Lingkungan: Perspektif Kebijakan Pajak. Dalam Pajak Lingkungan: Perkembangan Terkini di Cina dan Negara-negara OECD (hlm. 51-59). Paris: Penerbitan OECD. DOI:https://doi.org/10.1787/9789264173439-en.

Kementerian Keuangan. (2021). Rancangan Akademik RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi. Jakarta: KLH. Diambil dari http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dok/igrk/lapigrkmrv2019.pdf