Hello, is there anything we can help?

Meramu Kebijakan Optimal Bagi High Wealth Individual

Meramu Kebijakan Optimal Bagi High Wealth Individual

PPh

26 Oct, 2023 09:10 WIB

Jakarta, Ideatax -- Undang – undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disahkan. Melalui proses yang diskursif dan deliberatif, Undang – undang Nomor 7 tahun 2021 tersebut pada akhirnya disahkan oleh Pemerintah bersama dengan DPR melalui Lembaran Negara Nomor 246 Tahun 2021. 

 

Banyak materi baru yang terkandung dalam undang – undang yang lahir pada masa pandemi tersebut, salah satunya adalah penambahan layer tarif pajak penghasilan orang pribadi. Pasal 17 ayat (1) Undang – undang PPh sebagaimana diubah dengan Undang – undang HPP mengatur bahwa tarif pajak penghasilan bagi orang pribadi dengan penghasilan kena pajak di atas lima miliar rupiah adalah sebesar 35%. Padahal, dalam ketentuan sebelumnya, tarif maksimal PPh orang pribadi adalah sebesar 30%. Penambahan layer ini sekaligus menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan tarif PPh OP tertinggi di ASEAN bersama dengan Vietnam dan Thailand (Shira, 2017).

 

Di sisi lain, Pasal 26 Undang – undang PPh mengatur bahwa tarif pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar negeri adalah sebesar 20%. Hal ini berarti pajak yang dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam negeri dengan penghasilan di atas lima milyar rupiah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pajak penghasilan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri.

 

Apabila ketiga fakta ini kita gabungkan, maka agaknya kita dapat membayangkan beberapa implikasi yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Pertama, terdapat kemungkinan bahwa Wajib Pajak dengan Penghasilan Kena Pajak di atas lima miliar rupiah akan berusaha memecah dan mengalihkan penghasilannya menjadi penghasilan non-cash baik berupa fasilitas, kemudahan maupun manfaat non-cash lainnya. Memang, Undang – undang HPP mengatur bahwa natura dengan batasan tertentu tidak lagi dikecualikan sebagai objek pajak. Namun demikian, sepanjang pajak atas natura tersebut belum diatur lebih lanjut dalam aturan turunan atau sepanjang tarif pajak atas natura lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan orang pribadi, maka masih terdapat celah bagi Wajib Pajak berpenghasilan tinggi untuk mengalihkan penghasilannya dalam bentuk kenikmatan non-cash.

 


Baca Juga: Upaya Hukum Keberatan dalam Perspektif Undang – undang HPP


 

Kedua, dari sisi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh Pasal 21, akan lebih menguntungkan untuk mempekerjakan Wajib Pajak luar negeri (ekspatriat) dibandingkan dengan Wajib Pajak dalam negeri apabila penghasilan kena pajak karyawan atau professional tersebut di atas lima miliar. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tarif PPh Pasal 21 dengan PPh Pasal 26. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa tarif tertinggi PPh Pasal 21 adalah sebesar 35% sedangkan tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20%. Bahkan, apabila terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Negara mitra, tarif PPh pasal 26 tersebut dapat lebih rendah. 

 

Sehingga, bagi pemberi kerja yang memberikan tunjangan PPh Pasal 21 bagi pegawainya yang berpenghasilan lebih dari lima miliar, akan lebih menguntungkan untuk mempekerjakan pegawai atau profesional yang berstatus Wajib Pajak luar negeri karena akan dikenakan tarif pajak yang lebih rendah.

 

Apabila kondisi ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin akan menggerus national competitiveness yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Terlebih, di era gig economy seperti saat ini, seorang pekerja asing dapat bekerja dimana saja dan kapan saja tanpa terikat batasan Negara. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bucovetsky (1991) yang menyatakan bahwa apabila terdapat dua yurisdiksi perpajakan yang wajib pajaknya dapat dengan mudah untuk berpindah (mobile), maka yuridiksi dengan tarif pajak lebih rendah umumnya memiliki kondisi makro dan mikro-ekonomi yang lebih baik dan stabil.

 

Ketiga, dalam jangka panjang perbedaan tarif PPh Pasal 17 dengan PPh Pasal 26 ini akan memicu terjadinya tax planning berupa income shifting atas penghasilan yang diterima oleh pemegang saham orang pribadi. Bentuk dan rupa tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh manfaat tarif pajak yang lebih rendah pun dapat dengan bermacam cara. Misalnya, Wajib Pajak Orang Pribadi yang bertindak sebagai pemegang saham meng-convert penghasilannya sebagai dividen karena berdasarkan UU HPP dividen bukan sebagai objek pajak (Merks, 2011).
Untuk mengatasi kondisi ini pada dasarnya ada beberapa kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera menerbitkan aturan turunan yang mengatur mengenai subjek, objek dan batasan pajak atas natura (fringe benefit tax). Pengaturan ini penting untuk menghindari adanya income shifting bagi high wealth individual. 

 

Sebagaimana diketahui bahwa semakin tinggi jabatan seseorang maka umumnya akan diikuti dengan penghasilan dan fasilitas lain yang melekat. Sehingga, seseorang dengan penghasilan tinggi umumnya akan lebih mudah untuk melakukan shifting penghasilan tunai menjadi fasilitas atau kenikmatan lain. Oleh karenanya, penentuan subjek, objek dan threshold atas fringe benefit tax menjadi krusial untuk diterapkan.

 

Kedua, untuk mencegah human capital outflow karena perbedaan tarif pajak penghasilan sekaligus untuk menjaga national competitiveness terhadap sumberdaya manusia dalam negeri di tengah gempuran gig economy dan crowdfunding maka pemerintah dapat memberikan insentif misalnya dalam bentuk pengurangan tarif pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menginvestasikan sebagian penghasilannya ke dalam instrumen derivatif di dalam negeri seperti surat utang negara, saham, obligasi dan lain sebagainya. 

 

Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi perusahaan asing yang memberikan know-how bagi Wajib Pajak dalam negeri. Memang, dalam jangka pendek pemberian insentif ini akan meningkatkan tax expenditure. Namun demikian, dalam jangka panjang kebijakan ini akan memperkuat sumberdaya manusia indonesia dan national competitiveness yang pada akhirnya akan meningkatkan setoran pajak.

 

Namun demikian perlu diingat bahwa pemberian insentif terhadap high wealth individual harus dilaksanakan secara hati - hati. Hal ini dikarenakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hope dan Limberg (2022) menemukan bahwa pemotongan pajak terhadap orang kaya akan memicu terjadinya kesenjangan pendapatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, pemotongan pajak terhadap the rich tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran.

 

Ketiga, untuk mencegah adanya tax planning berupa income shifting atas transaksi afiliasi yang melibatkan high wealth individual taxpayers, pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap beneficial owner. Selain itu, untuk mencegah aggressive tax planning atas perbedaan tarif pajak, pemerintah juga dapat memberikan insentif atau kompensasi terhadap manajemen wajib pajak misalnya dalam bentuk kemudahan pelaporan, pengembalian dipercepat dan penghapusan denda. 

 

Penelitian yang dilakukan oleh Armstrong et al (2012) yang menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara insentif yang diberikan terhadap manajemen perusahaan dengan effective tax rate. Artinya, manajemen yang diberikan kompensasi atau fasilitas perpajakan umumnya akan mengurangi beban pajak yang dilaporkan dalam laporan keuangan dibandingkan dengan manajemen yang tidak diberikan fasilitas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Graham et al (2014) yang menemukan bahwa insentif dalam akuntansi dan keuangan berperan penting dalam mengurangi aggressive tax planning.

 

Pada akhirnya kita berharap bahwa kebijakan perpajakan terutama bagi wajib pajak orang kaya dapat memberikan manfaat sebesar - besarnya bagi rakyat tetapi juga memberikan keadilan bagi seluruh Wajib Pajak.

 

Referensi
Armstrong, C. S., Blouin, J. L., & Larcker, D. F. (2012). The incentives for tax planning. Journal of Accounting and Economics,, 53(1), 391-441. https://doi.org/10.1016/j.jacceco.2011.04.001.
Bucovetsky, S. (1991). Asymmetric tax competition. Journal of Urban Economics, 30(2), 167-181. https://doi.org/10.1016/0094-1190(91)90034-5.
Graham, J. R., Hanlon, M., Shelvin, T., & Shroff, N. (2014). Incentives for Tax Planning and Avoidance: Evidence from the Field. The Accounting Review, 89(3), 991-1023. https://doi.org/10.2308/accr-50678
Hope, D., & Limberg, J. (2022). The economic consequences of major tax cuts for the rich. Socio-Economic Review, 20(2), 539-559. doi: 10.1093/ser/mwab061
Merks, P. (2011). Dividend Withholding Tax Planning Techniques: Part 1. Intertax, 39(10), 460-470. https://doi.org/10.54648/taxi2011050
Shira, D., & Brown, M. (2017, February 28). Personal Income Tax in ASEAN: a Guide to 2017 Rates - ASEAN Business News. ASEAN Briefing. Retrieved September 2, 2022, from https://www.aseanbriefing.com/news/personal-income-tax-asean/