Hello, is there anything we can help?

Mengenal CFC Rules di Indonesia

Mengenal CFC Rules di Indonesia

PPh

05 Oct, 2023 09:10 WIB

Jakarta, Ideatax -- Pada artikel sebelumnya kita telah banyak membahas mengenai prinsip – prinsip dasar pemajakan internasional, salah satunya adalah prinsip domisili dan prinsip sumber. Prinsip domisili menyatakan bahwa pajak penghasilan dikenakan di negara domisili atas penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun penghasilan yang berasal dari luar negeri (world wide income). Sedangkan prinsip sumber menyatakan bahwa pajak penghasilan dikenakan di tempat sumber penghasilan berada.

Perbedaan prinsip pemajakan yang dianut ini berpotensi menimbulkan pemajakan berganda. Akibat dari pemajakan berganda ini sangat dirasakan oleh perusahaan multi nasional yang mendirikan beberapa perusahaan terkontrol di negara yang berbeda (Controlled Foreign Company). Oleh karena itu, pada artikel kali ini, kita akan membahas secara spesifik mengenai Controlled Foreign Company (CFC) rules di Indonesia sehingga wajib pajak dapat menghindari tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai tax avoidance terkait dengan kepemilikan CFC.

Secara umum, OECD (2023) mendefinisikan CFC sebagai perusahaan asing yang secara langsung maupun tidak langsung dikendalikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. Definisi lain menyebutkan bahwa CFC adalah sebuah entitas bisnis yang terdaftar dan menjalankan kegiatan operasi di jurisdiksi yang berbeda dari entitas yang mengontrolnya (Chen, 2022). Otoritas perpajakan mungkin menerapkan kriteria yang berbeda – beda untuk menentukan sifat dari pengendalian. Namun, OECD (2023) sendiri menyatakan bahwa CFC rules merupakan turunan dari BEPS action 3 report tentang Controlled Foreign Company.

Di Indonesia, pengaturan mengenai CFC diatur secara jelas dalam Undang – undang Pajak Penghasilan dan aturan turunannya. Pasal 18 ayat (2) Undang – undang PPh antara lain mengatur bahwa:

Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau

  2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengaturan ini diperlukan untuk menghindari adanya penghindaran pajak dari wajib pajak dalam negeri yang menanamkan sahamnya di luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengaturan mengenai kapan terhutangnya suatu dividen.

Sebagai contoh, PT ABC dan PT DEF secara bersama – sama menanamkan sahamnya masing – masing sebesar 30% di XYZ Ltd. Saham XYZ Ltd tidak diperjual belikan di bursa saham dan pada tahun 2018 XYZ Ltd memperoleh laba sebesar 10 miliar rupiah. Atas kondisi ini, pemerintah dapat menentukan kapan diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

Ketentuan mengenai CFC rules ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Deviden Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek sebagaimana diubah terakhir dengan PMK 107/PMK.03/2017 dan 93/PMK.03/2019.

Melalui peraturan tersebut, pemerintah mengatur bahwa Wajib Pajak dalam negeri dianggap memiliki pengendalian langsung (direct control) terhadap Badan Usaha Luar Negeri (BULN) apabila memenuhi dua kiteria: Pertama, memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN nonbursa; atau kedua, secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa. Dimana besarnya prosentase tersebut ditentukan pada akhir tahun pajak wajib pajak dalam negeri.

Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan memiliki pengendalian langsung tersebut di atas, dianggap memperoleh deemed dividend atas penyertaan modal pada BULN non bursa. Deemed dividend adalah dividend yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN nonbursa terkendali langsung.

Terdapat lima jenis deemed dividend yang diatur dalam PMK 93 tahun 2019, diantaranya adalah penghasilan tertentu yang diterima BULN non bursa pengendali atas:

  • Dividen, kecuali dividen yang diterima dan/atau diperoleh dari BULN Nonbursa terkendali;

  • Bunga, kecuali bunga yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negen yang mempunyai izin usaha bank;

  • Sewa berupa: (1) sewa yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali sehubungan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan; dan (2) sewa selain sewa sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang diterima dan/atau diperoleh BULN Nonbursa terkendali yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan BULN Nonbursa terkendali tersebut;

  • Royalti; dan

  • Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa apabila entitas anak di luar negeri dalam hal ini adalah BULN non bursa dengan pengendalian langsung maupun tidak langsung, memperoleh penghasilan atas royalty atau keuntungan karena penjualan atas pengalihan harta, maka atas penghasilan tersebut dianggap sebagai deemed dividend kepada entitas induk yang merupakan wajib pajak dalam negeri meskipun entitas anak di luar negeri secara eksplisit tidak menyatakan bahwa penghasilan tersebut adalah dividend.

 

Saat Terhutang

PMK 107 tahun 2017 jo PMK 93 tahun 2019 mengatur bahwa deemed dividend dianggap diperoleh pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan bagi BULN nonbursa terkendali langsung. Sehingga, apabila di negara X BULN terkendali langsung mempunyai kewajiban penyampaian SPT Tahunan selambatnya pada akhir April, maka deemed dividend dianggap diperoleh pada akhir bulan September atau akhir bulan keempat setelah bulan April.

Namun demikian, PMK 107 tahun 2017 jo PMK 93 tahun 2019 juga mengatur bahwa dalam hal BULN terkendali langsung tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan di negara asalnya, maka deemed dividen dianggap diperoleh pada bulan ketujuh setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

 

Cara Penghitungan

Deemed dividend dihitung dengan cara mengalikan prosentase kepemilikan Wajib Pajak Dalam Negeri pada BULN non bursa yang mempunyai pengendalian langsung dengan dasar pengenaan dividen berupa jumlah neto atas penghasilan tertentu dari BULN tersebut.

Dalam hal wajib pajak mempunyai pengendalian langsung dan tidak langsung terhadap BULN Non bursa, maka berlaku dua ketentuan: pertama, terhadap BULN non bursa dengan pengendalian langsung, dasar pengenaan pajak atas deemed dividend adalah sebesar jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN. Kedua, terhadap BULN dengan pengendalian tidak langsung, dasar pengenaan pajak dihitung dengan cara mengalikan prosentase penyertaan BULN pengendalian langsung terhadap BULN tidak langsung dengan jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu BULN.

Untuk diketahui bahwa BULN non bursa terkendali tidak langsung adalah adalah BULN non bursa yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri melalui BULN nonbursa terkendali langsung dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih.

Sebagai contoh, PT ABC memiliki XYZ Ltd yang berada di negara X dengan kepemilikan 65%. Saham XYZ Ltd tidak diperdagangkan di bursa dan pada tahun pajak 2019, XYZ Ltd memperoleh penghasilan tertentu sebesar USD 100.000, biaya terkait penghasilan tertentu sebesar USD 30.000 dan pajak penghasilan sebesar USD 5.000. Nilai kurs yang berlaku pada tanggal 30 September adalah sebesar Rp 14.500/USD.

Berdasarkan contoh sebagaimana di atas, maka besarnya deemed dividend adalah sebesar 65%*(USD 100.000 – 30.000 – 5.000) = USD 42.250. Oleh karena kurs yang berlaku pada saat itu adalah sebesar Rp 14.500, maka PT ABC harus mengakui deemed dividen sebesar Rp 612.625.000 dalam SPT Tahunan 2019.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai CFC rules di Indonesia. Pada artikel selanjutnya, kita akan membahas mengenai skema perpajakan internasional lainnya beserta contoh dan penerapannya.

 

Aturan terkait

  • Undang – undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Deviden Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek sebagaimana diubah terakhir dengan PMK 107/PMK.03/2017 dan PMK 93/PMK.03/2019

 

References

Chen, J. (2022, July 18). Controlled Foreign Corporation (CFC): Definition and Taxes. Retrieved from Investopedia: https://www.investopedia.com/terms/c/cfc.asp

OECD. (2023, August 29). About the Dataset Controlled Foreign Company (CFC) Rules. Retrieved from OECD: https://qdd.oecd.org/subject.aspx?Subject=CFC