Hello, is there anything we can help?
Jakarta, Ideatax -- Seiring dengan peningkatan aktifitas ekonomi pasca pemulihan dari pandemi covid-19, terjadi peningkatan penerimaan pajak. Kemenkeu (2023) mencatat bahwa sampai dengan 31 Mei 2023, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap seluruh jenis penerimaan pajak. Sebagai contoh, sampai dengan Mei 2023 penerimaan PPh yang berhasil dikumpulkan oleh DJP adalah sebesar Rp 523 trilliun rupiah atau meningkat sebesar 12,29% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, penerimaan PPN sampai dengan Mei 2023 mampu tumbuh sebesar 21,31%. Peningkatan penerimaan pajak yang signifikan terjadi pada pajak lainnya. Hal ini membuktikan bahwa roda ekonomi di Indonesia mulai bergerak dengan laju. Selanjutnya, Kemenkeu (2023) juga melaporkan bahwa penerimaan pajak lainnya sampai dengan Mei 2023 mencapai Rp 5,02 triliun atau sudah terealisasi sebesar 57% dari target yang diemban pada tahun 2023 dan tumbuh sebesar 96,63% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Untuk diketahui bahwa salah satu bentuk dari pajak lainnya adalah PBB sektor P5L dan Bea Meterai. DJP memperkirakan bahwa penerimaan pajak dari Bea Meterai pada tahun 2023 mampu mencapai Rp 30 tilliun (Laucereno, 2023). Lalu apa dan bagaimana sebenarnya pajak Bea Meterai? Objek apa saja yang terhutang Bea Meterai? Melalui artikel kali ini kita akan membahas leih jauh mengenai Bea Meterai.
Berdasarkan sejarahnya, Bea Meterai merupakan salah satu pajak yang tertua yang ada di Indonesia. Melalui Zegelverordening, Pemerintah Hindia Belanda mulai memperkenalkan Bea Meterai di hindia belanda pada tahun 1921. Selanjutnya, pada masa reformasi peraturan perpajakan di era 80-an, Bea Meterai merupakan salah satu regulasi yang diatur ulang oleh pemerintah Indonesia. Melalui Undang – undang Nomor 13 tahun 1985, Pemerintah Indonesia mengatur mengenai subjek, objek, tarif, dan ketentuan peralihan Bea Meterai. Dalam perkembangannya, undang – undang tentang Bea Meterai telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan. Terakhir, melalui Undang – undang Nomor 10 tahun 2020 Pemerintah melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai Bea Meterai.
Dalam ketentuan umumnya diatur bahwa Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yaitu sesuatu yang ditulis, atau tulisan baik yang berupa tulisan tangan, cetakan, atau elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti atau keterangan. Terdapat dua objek Bea Meterai: pertama, dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkang mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata dan yang kedua adalah dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Pasal 3 undang – undang Bea Meterai mengatur bahwa terdapat tujuh jenis dokumen perdata terhutang Bea Meterai, diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan atau surat lainnya yang sejenis beserta rangkapnya;
-
Akta notaris beserta grosse, Salinan dan kutipannya;
-
Akta PPAT beserta Salinan dan kutipannya;
-
Surat berharga dengan nama dan bentuk apapun;
-
Dokumen transaksi surat berharga termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka dengan nama dan bentuk apapun;
-
Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta ruisalah lelang, Salinan risalah lelang dan grosse risalah lelang;
-
Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari 5.000.000 yang menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan hutang.
Meskipun terdapat banyak jenis dokumen yang terhutang Bea Meterai, namun demikian Undang – undang Bea Meterai juga mengatur bahwa terdapat dokumen – dokumen yang atas penerbitannya tidak perlu dibubuhi meterai, diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, meliputi: surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti pengiriman barang untuk dijual dan surat lain yang dipersamakan;
-
Semua jenis ijazah;
-
Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pension, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja;
-
Tanda bukti penerimaan uang dari kas negara, bank dan Lembaga lain yang ditunjuk;
-
Kuitansi untuk semua jenis pajak, dan penerimaan lain yang dipersamakan;
-
Tanda penerimaan uang untuk keperluan internal organisasi;
-
Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga;
-
Surat gadai;
-
Tanda pembagian keuntungan, bunga atau imbal hasil;
-
Dokumen yang diterbitkan oleh bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
Sampai di sini kita mengetahui dokumen apa saja yang terhutang Bea Meterai dan dokumen mana saja yang atas penerbitannya tidak terhutang Bea Meterai. Namun demikian, kita juga perlu mengetahui, kapan suatu dokumen terhutang Bea Meterai. Surat perjanjian beserta rangkapnya serta akta notaris dan akta PPAT beserta grosse salinan dan kutipannya terhutang Bea Meterai pada saat dibubuhi tanda tangan.
Sedangkan surat berharga serta dokumen yang yang menjelaskan transaksi surat berharga termasuk transaksi kontrak berjangka terhutang bea meterai pada saat dokumen selesai dibuat. Di sisi lain, dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan terhutang Bea Meterai pada saat diajukan ke pengadilan. Detil dan rincian mengenai objek, pihak yang terutang serta saat terutangnya dapat dilihat pada matriks berikut:
Objek |
Pihak yang terhutang |
Saat terhutang |
Tarif |
Surat perjanjian, beserta rangkapnya |
Masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya |
Saat dibubuhi tanda tangan |
Rp 10.000 |
Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya |
|||
Akta PPAT beserta salinan dan kutipannya |
|||
Surat berharga |
Pihak yang menerbitkan dokumen |
Saat dokumen selesai dibuat |
|
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka |
Pihak yang menerima dokumen |
||
Surat keterangan, pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya |
Pihak yang menerima dokumen |
Saat diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat |
|
Dokumen lelang |
|||
Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nila nominal lebih dari Rp5.000.000,00 |
|||
Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan |
Pihak yang mengajukan dokumen |
Saat diajukan ke pengadilan |
|
Dokumen yang dibuat di luar negeri |
Pihak yang menerima manfaat atas dokumen |
Dokumen digunakan di Indonesia |
Terkait dengan pembayaran Bea Meterai, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134 tahun 2021 mengatur bahwa terdapat empat cara pembayaran bea meterai, meliputi: meterai tempel, meterai elektronik, meterai dalam bentuk lain dan SSP.
Meterai tempel adalah meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada dokumen. Sedangkan meterai elektronik adalah label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada dokumen melalui system tertentu. Di sisi lain, meterai dalam bentuk digital adalah meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan meterai digital, system komputerisasi dan teknologi pencetakan.
Dalam ketentuan pidananya, undang – undang bea meterai mengatur bahwa setiap orang yang meniru atau memalsukan meterai yang dikelauarkan oleh pemerintah Indonesia termasuk membuat meterai elektronik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Pidana yang sama juga dikenakan terhadap setiap orang yang dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan meterai yang dipalsukan atau dibuat secara melawan hukum.
Peraturan terkait:
-
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai sebagaimana telah diubah dengan undang – undang nomor 10 tahun 2020.
-
Peraturan Menteri Keuangan nomor 134 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum Dan Ciri Khusus Pada Meterai Tempel, Kode Unik Dan Keterangan Tertentu Pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai Serta Pemeteraian Kemudian
References
Kemenkeu. (2023). APBN KIta: Kinerja dan Fakta Juni 2023. Jakarta: Kemenkeu.
Laucereno, S. F. (2023, Mei 17). Potensi Penerimaan Negara dari Meterai Elektronik Capai Rp 30 T. Retrieved from Detik FInance: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6725582/potensi-penerimaan-negara-dari-meterai-elektronik-capai-rp-30-t