Hello, is there anything we can help?

Menelisik Pajak atas Asuransi Kendaraan

Menelisik Pajak atas Asuransi Kendaraan

PPN

01 Aug, 2024 16:08 WIB

Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan asuransi wajib kendaraan bermotor. Meskipun berpotensi menimbulkan polemik, ketentuan mengenai asuransi wajib kendaraan bermotor sebenarnya merupakan amanat dari Undang - undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Melalui Undang - undang ini, Pemerintah mengatur bahwa Pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan, termasuk Third Party Liabilities (TPL) untuk kendaraan bermotor.


Undang - undang ini juga mengatur bahwa dalam jangka waktu dua tahun setelah Undang - undang nomor 4 tahun 2023 diterbitkan, Pemerintah harus menyusun Peraturan Pemerintah terkait dengan third party liabilities bagi perlindungan atas kecelakaan lalu lintas. 


Untuk diketahui bahwa dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara, penetrasi asuransi di Indonesia tergolong rendah. Singapura misalnya, mempunyai penetrasi asuransi sebesar 10,49% dari total penduduk. Di sisi lain, Thailand memiliki penetrasi sebesar 5,02% dan Vietnam memiliki penetrasi asuransi sebesar 2,52% dari total penduduk (Kontan, 2024). Adapun perbandingan penetrasi asuransi di kawasan asia tenggara dapat dilihat pada grafik berikut:


 
Beberapa analis berpendapat bahwa penerapan asuransi wajib tersebut berpotensi meningkatkan beban masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat yang memiliki mobil merupakan kalangan yang berkecukupan. Bisa jadi, kendaraan roda empat tersebut merupakan sarana masyarakat dalam mencari nafkah seperti taksi online. Namun, penulis tidak ingin berpolemik lebih lanjut. Melalui artikel ini, penulis berusaha mengurai lebih lanjut mengenai ketentuan perpajakan atas asuransi.


Pasal 4 (1) huruf n Undang - undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang - undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan antara lain mengatur bahwa yang menjadi objek penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan bentuk apapun, termasuk premi asuransi dan premi reasuransi.


Selanjutnya, Pasal 4 ayat (3) huruf e undang - undang PPh juga mengatur bahwa pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa bukan merupakan objek pajak penghasilan. 


Disisi lain, Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang - undang PPh juga mengatur bahwa premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi tidak dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menentukan pajak penghasilan. Namun demikian, apabila premi asuransi tersebut dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan wajib pajak yang bersangkutan, maka premi asuransi tersebut dianggap sebagai penghasilan bagi orang pribadi dan bagi pemberi kerja dapat mengurangi penghasilan bruto.


Dalam penjelasannya diatur bahwa Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak.


Sampai di sini kita dapat melihat bahwa pembayaran premi asuransi kendaraan bermotor merupakan objek pajak penghasilan baik premi asuransi kendaraan tersebut dibayarkan oleh orang pribadi maupun dibayarkan oleh pemberi kerja. Apabila premi asuransi dibayarkan oleh pemberi kerja, maka premi tersebut dianggap sebagai penghasilan bagi orang pribadi dan pembayaran premi dimaksud dapat mengurangi penghasilan bruto dari pemberi kerja. Disisi lain, apabila premi asuransi kendaraan dibayarkan oleh orang pribadi, pembayaran tersebut tetap tidak dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dari wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan.


Pada saat pembayaran dari perusahaan asuransi kepada pemilik kendaraan karena kerusakan kendaraan atau karena sebab lain, maka pembayaran tersebut merupakan objek pajak penghasilan. Hal ini dikarenakan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan hanya terbatas pada sebab kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung.


Apabila kendaraan dimiliki oleh wajib pajak badan, maka pembayaran premi asuransi dapat dibebankan sepanjang kendaraan tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan dan memenuhi prinsip 3M (memperoleh, menagih dan memelihara) penghasilan. Namun demikian, perlu diingat bahwa atas pemeliharaan, perbaikan dan perawatan kendaraan sedan atau yang sejenis yang digunakan oleh perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatannya hanya dapat dibebankan sebesar 50% dari biaya total biaya pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 220 tahun 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas biaya pemakaian Telepon Selular dan Kendaraan Perusahaan.