Hello, is there anything we can help?
Ideatax, Jakarta -- Digitalisasi telah membawa banyak perubahan pada cara manusia berinteraksi satu sama lain. Digitalisasi juga membawa pengaruh signifikan pada aspek ekonomi dan keuangan. Saat ini, seseorangdapat melakukan transaksi dengan siapa saja di mana saja dan kapan saja. Dengan demikian, perbatasan nasional menjadi tidak relevan dalam transaksi digital.
Sayangnya, digitalisasi juga memiliki implikasi negatif. Salah satunya adalah ketidakmampuan otoritas pajak untukmengenakan pajak atas transaksi lintas batas yang dilakukan secara digital. Kondisi ini disebabkan oleh konsep Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disebut PE) yang dianut oleh otoritas pajak di dunia. Konsep PE membutuhkan bangunan permanen atau representasi untukmengenakan pajak kepada wajib pajak asing.
Misalnya, seseorang di Indonesia dapat membeli buku dari pedagang luar negeri melalui platform online. Sayangnya, otoritas perpajakan Indonesia tidak dapat mengenakan pajak pada pedagang yang melakukan penjualan karena pedagang tidak memiliki kantor perwakilan atau cabang di Indonesia. Oleh karena itu, konsep PE yang telah diperkenalkan sejak tahun 1909 menjadi tidak relevan di era digital.
OECD (2003) mendefinisikan PE sebagai tempat bisnis tetap di mana bisnis suatu perusahaan seluruhnya atau sebagian dijalankan. Istilah PE sendiri mencakup tempat manajemen, cabang, kantor, pabrik, bengkel, tambang, sumur minyak atau gas, tambang atau apapun. Selain itu, bangunan, proyek konstruksi dan instalasi yang berusia lebih dari dua belas bulan dan agen atau perwakilan perusahaan juga termasuk dalam konsep PE.
Di Indonesia, konsep PE diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Menurut peraturan perundang-undangan, PE didefinisikan sebagai bentuk usaha yang digunakan oleh perorangan yang tidak berdomisili di Indonesia, perorangan yang berada di Indonesia paling lama 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berdomisili di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
- tempat manajemen;
- cabang perusahaan;
- kantor perwakilan;
- gedung perkantoran;
- pabrik;
- lokakarya;
- gudang;
- ruang untuk promosi dan penjualan;
- pertambangan dan penggalian sumber daya alam;
- wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
- perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
- proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan;
- penyediaan jasa dalam bentuk apapun oleh karyawan atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
- seseorang atau badan yang bertindak sebagai agen yang posisinya tidak bebas;
- agen atau karyawan perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berdomisili di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
- komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk melakukan kegiatan bisnis melalui Internet.
Berdasarkan definisi tersebut, jelas bahwa konsep PE mensyaratkan tiga hal agar wajib pajak luar negeri dapat dikenakan pajak di Indonesia: keberadaan tempat usaha di Indonesia, tempat usaha Itu permanen dan tempat itu digunakan untuk berbisnis.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 35 tahun 2019 tentang Bentuk Usaha Tetap, ada lima jenis PE yang diakui di Indonesia: PE fisik atau aset, PE proyek, PE jasa, PE agen, PE asuransi dan PE e-commerce. PE fisik adalah PE yang muncul ketika kegiatan melewati tempat-tempat permanen seperti tempat kepengurusan, kantor cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan tempat lain yang bersifat permanen.
PE Proyek adalah PE yang timbul dari kegiatan usaha atau kegiatan wajib pajak luar negeri di Indonesia yang meliputi proyek konstruksi, proyek instalasi dan proyek perakitan. Proyek konstruksi yang dapat menimbulkan PE meliputi jasa konsultasi konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan pekerjaan konstruksi terintegrasi.
Sedangkan PE jasa adalah PE yang timbul karena pemberian jasa oleh wajib pajak luar negeri atau karyawannya yang dilakukan dalam jangka waktu 60 atau lebih dalam satu tahun. Suatu kegiatan jasa dianggap memenuhi kriteria PE apabila pemberian jasa tersebut diberikan di Indonesia, pemberian jasa tersebut dilakukan kepada badan atau orang di Indonesia atau di luar Indonesia dan Pegawai yang memberikan jasa adalah pegawai wajib pajak luar negeri.
Selanjutnya, PE agensi adalah orang atau badan yang bertindak sebagai agen wajib pajak luar negeri dengan kriteria sebagai berikut: menerima instruksi untuk kepentingan negara wajib pajak luar dan tidak menanggung risiko atau kegiatan usahanya sendiri. Namun, jika agen yang berlokasi di Indonesia hanya melakukan kegiatan persiapan atau pendukung, maka agen tersebut tidak dapat ditunjuk sebagai PE.
PE Asuransi adalah PE yang muncul karena perusahaan asuransi luar negeri menerima premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia. Namun, ketentuan asuransi PE tidak berlaku untuk perusahaan reasuransi. Hal ini diatur dalam 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 35 tahun 2019.
Bentuk PE selanjutnya adalah PE e-commerce yang mengatur bahwa PE muncul ketika ada komputer, perangkat elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewakan atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik luar negeri.
Meskipun regulasi perpajakan di Indonesia sudah cukup adaptif dalam merespon perkembangan dunia usaha dengan mengakomodasi e-commerce, PE, dan berbagai bentuk PE lainnya. Namun, PE e-commerce dan PE lainnya masih memerlukan kehadiran fisik dalam bentuk peralatan komputer, server dan kantor perwakilan. Dengan demikian, pemerintah Indonesia dan negara-negara lain perlu memperbarui ketentuan PE dengan memasukkan konsep kehadiran ekonomi signifikan (SEP) seperti yang dijelaskan oleh OECD (2019) dalam Proyek BEPS.
Referensi
OECD. (2003). Pasal-pasal Konvensi Model Sehubungan dengan Pajak atas Penghasilan dan Modal. Paris: OECD. Diambil dari https://www.oecd.org/tax/treaties/1914467.pdf
OECD. (2019). Mengatasi Tantangan Pajak dari Digitalisasi Ekonomi. Paris: OECD Press. Diambil dari https://www.oecd.org/tax/beps/public-consultation-document-addressing-the-tax-challenges-of-the-digitalisation-of-the-economy.pdf
Ketentuan terkait
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 menantang Pajak Penghasilan;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2019 tentang Bentuk Usaha Tetap.