Hello, is there anything we can help?

Dinamika Pengenaan PPN atas Penyerahan Batu Bara

Dinamika Pengenaan PPN atas Penyerahan Batu Bara

PPN

15 Sep, 2023 14:09 WIB

Jakarta, Ideatax -- Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa pada tahun 2022 terjadi peningkatan produksi maupun penjualan batu bara. Dimana pada tahun 2022 jumlah produksi batu bara meningkat menjadi 685.24 juta ton, padahal pada tahun sebelumnya produksi batubara hanya mencapai 606,28 juta ton (ESDM, 2023). 

 

Peningkatan hasil produksi batu bara pada tahun 2022 agaknya juga diikuti dengan peningkatan penjualan produk emas hitam tersebut. ESDM melaporkan bahwa selama tahun 2021, jumlah penjualan Domestik, penjualan ekspor dan penjualan Domestic Market Obligation (DMO) masing – masing adalah sebesar 237,91 juta ton, 322,07 juta ton dan 133,04 juta ton. Sementara pada tahun 2022, jumlah penjualan domestik, ekspor dan DMO masing – masing meningkat menjadi 242,4 juta ton, 332,22 juta ton dan 215,82 juta ton.

 

Tren peningkatan produksi dan penjualan batu bara masih terjadi di kuartal pertama dan kedua tahun 2023. Selama kuartal pertama dan kedua tahun ini, jumlah produksi batu bara mencapai 467,9 juta ton dan penjualan domestik, ekspor dan DMO masing – masing sebesar 134,08 juta ton, 185,59 juta ton dan 71,06 juta ton. Adapun detil produksi dan penjualan batu bara dapat dilihat pada table berikut:

 

Apabila kita tarik ke belakang, maka tren peningkatan produksi dan penjualan batu bara dalam kurun waktu lima tahun terakhir mulai terjadi pada tahun 2020. Dimana pada waktu yang bersamaan Pemerintah mengesahkan Undang – undang Cipta Kerja yang didalamnya termuat pengaturan ulang mengenai pengenaan PPN atas penyerahan batu bara.

 

Melalui Undang – undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah mengatur bahwa jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk pertambangan batu bara. Ketentuan ini secara jelas diatur dalam Pasal 112 Undang – Undang Cipta Kerja.

 

Padahal dalam ketentuan sebelumnya (Undang – undang Nomor 42 tahun 2009), Pemerintah mengatur bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN.

 

Perubahan pengenaan PPN atas batu bara yang semula tidak dikenakan menjadi dikenakan tentu membawa implikasi besar. Dimana setelah Undang – undang Cipta Kerja berlaku, Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang pertambangan batu bara harus mendaftarkan dirinya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selanjutnya, pengusaha tersebut harus membuat faktur pajak atas setiap penyerahan barang kena pajak dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN.

 

Meskipun demikian, kita dapat melihat kebijakan ini dengan perspektif lain. Dengan pengenaan PPN atas penyerahan batu bara, maka pengusaha pertambangan batu bara dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan pertambangan. Padahal, menurut beleid sebelumnya, pengusaha pertambangan batu bara tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya, bahkan sebelum pengusaha tersebut melakukan penyerahan BKP atau JKP.

 

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 2a Undang – undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menyatakan bahwa “Bagi pengusaha kena pajak yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP, Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP, impor BKP dan/atau JKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang – undang ini”

 

Jalan Berliku

Dinamika pengenaan PPN atas batu bara bukan merupakan isu baru di Indonesia. Isu ini bahkan sudah muncul sejak berpuluh tahun yang lalu. Dimulai ketika terjadi krisis minyak di era 70 an dimana pemerintah “dipaksa” untuk memutar otak mencari sumber energi dan pembiayaan yang baru karena keruntuhan era oil boom.

 

Menyadari bahwa Indonesia bukan lagi sebagai negara produsen minyak, maka Pemerintah mengundang para investor untuk hadir di Indonesia dan menanamkan modal mereka pada industri batu bara. Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan para investor dalam bidang industri batu bara ini kemudian dituangkan dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara Generasi Pertama (PKP2B Generasi Pertama).

 

Terdapat beberapa kesepakatan yang dicapai dalam PKP2B, salah satunya adalah kesepakatan dalam hal perpajakan yang antara lain mengatur bahwa terhadap Perusahaan yang terikat dengan PKP2B Generasi Pertama berlaku enam jenis pajak, diantaranya:

  1. Pajak Perseroan (Corporate Tax);

  2. Pajak Pemotongan/Pemungutan (Withholding Taxes)

  3. Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA, Regional Government Tax);

  4. Pajak Penjualan (PPn, Sales Tax) atas jasa yang diserahkan kepada kontraktor dengan tarif maksimum 5 persen

  5. Bea Materai (Stamp Duty);

  6. Cukai untuk produk tembakau dan minuman keras.

 

Oleh karena PKP2B Generasi Pertama ditandatangani sebelum Undang – undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1983 terbit, maka terhadap Perusahaan yang terikat dengan PKP2B generasi pertama tersebut tidak dikenakan PPN karena berlaku asas nail down alias tidak terkena aturan pajak yang baru. Namun demikian, terhadap Perusahaan yang menandatangani perjanjian karya dengan pemerintah setelah Undang – undang PPN terbit, maka terhadapnya berlaku undang – undang tersebut.

 

Dalam undang – undang PPN tahun 1983, pemerintah belum mengatur secara spesifik mengenai penyerahan BKP atau JKP yang tidak dikenakan PPN. Sehingga, atas penyerahan batu bara yang tidak tunduk pada PKP2B generasi pertama, dikenakan PPN sesuai dengan undang – undang ini.

 

Pengaturan mengenai penyerahan BKP atau JKP yang tidak dikenakan PPN baru muncul pada perubahan pertama Undang – undang PPN. Melalui Undang – undang Nomor 11 tahun 1984 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 1994, Pemerintah mengatur bahwa barang hasil pertambangan, penggalian dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya merupakan jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Sehingga, terhadap batu bara yang diambil langsung dari sumbernya bukan merupakan penyerahan yang dikenakan PPN.

 

Pada perubahan kedua dan ketiga undang – undang PPN, pemerintah secara konsisten mengatur bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan PPN. Bahkan ketentuan ini termuat dalam batang tubuh perubahan kedua dan ketiga Undang – undang PPN Pasal 4A.

 

Namun demikian, melalui Undang – undang Cipta Kerja dan Undang – undang Harmonisasi Perpajakan, Pemerintah mengenakan Kembali PPN atas penyerahan hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya termasuk namun tidak terbatas pada pertambangan batu bara. Sebuah lika – liku pengenaan PPN atas batu bara.

 

Ketentuan Terkait

  • Undang – undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

  • Undang – undang Nomor 11 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang – undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

  • Undang – undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang – undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

  • Undang – undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang – undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

  • Undang – undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

  • Undang – undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

  • Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994